BismilLah.
Assalamu’alaykum.
–Lanjutan catatan sesi ke-3, lihat catatan sebelumnya—
1). Mengambil sikap bahwa Islam Non Politik, dalam artian bukan buta politik tetapi tdk mengambil peran dalam politik praktis. Hal tersebut sebagaimana pengunduran diri beliau (Wali Al-Fattaah) dari Masyumi dan pernyataan tegas yang beliau sampaikan dalam berbagai pidato.
Berikut adalah penjelasannya :
1.4). Masalah politik, ini sebenarnya tidak terlalu mengikat sampai kita mengambil suatu ta’rif atau definisi. Pemikiran politik ini lazim dikenal berasal dari Yunani purba, sekitar 500-400 tahun sebelum tarikh masehi (h.33).
– Politik ini adalah satu karya pikir dari masyarakat Yunani purba dalam usaha mereka mencari suatu ketertiban untuk menata masyarakat nya, sehingga dari hasil pemikiran itu timbullah kata-kata polis, politeia, politik (h.34).
1.5). Partai politik Islam, sebenarnya pengambilannya itu dari Barat, tidak dari Islam, karena di dalam syari’at Islam sendiri tidak dikenal politik (h.36)
– Empat puluh tahun yg lampau (tahun 1990-an), kalau kami berpropaganda kemana-mana, diantara semboyan kami waktu itu ialah “Kalau ummat Islam tidak berpolitik, maka akan menjadi obyek politik dari orang diluar Islam. Kalau kau tidak masuk politik, nanti dimakan politik.” Ini merupakan salah satu alat kami untuk menarik ummat Islam (h 36).
– Tetapi setelah kami mendapat pengertian dengan taqdir Alloh Subhanahu wa Ta’ala bahwa wahyu Alloh itu adalah murni dari firman Alloh dan sabda Rosul-Nya, akhirnya kami mendapat satu kesimpulan bahwa wahyu Alloh itu non politik (h.37).
1.6). Dalam praktek politik, tidak pernah ada misalnya seorang politikus mengatakan bahwa ia menjalankan praktek politik karena Alloh semata-mata. Bila seorang politikus ditanya, “Apakah saudara berpolitik itu untuk mencari kekuasaan atau tidak? Oh tidak, saya lilLah.” Itu tidak ada. Diucapkan ada, tetapi dalam praktek politik itu tidak ada. Tidak ada dalam kamus politik yang menyatakan : saya berpolitik itu lilLaah (h.37).
– Sampai juga bertempurnya Mu’awiyah bin Abi Sufyan dengan Kholifah ‘Ali bin Abi Tholib (rodhiyalLohu ‘anhuma), dan sebelumnya terjadi kehebohan pd masa Kholifah ‘Utsman bin ‘Affan rodhiyalLohu ‘anhu (yang ditiup-tiup oleh Yahudi untuk menghancurkan ummat Islam) bukanlah soal ‘aqidah diniyah tetapi soal politik, kedudukan, kepangkatan dan kekuasaan (h.41).
# Demikian ringkasan kami, semoga bermanfaat dan mohon maaf bilamana ada kekurangan