BismilLah.
Assalamu’alaykum.
Tilawah QS.Hud ayat 43-48 bersama Imaamul Muslimin : Ust. Yakhsyallah Mansur pada ba’da Shubuh hari Ahad, 08 Robi’ul Awwal 1444H/02 Oktober 2022M di Masjid An-Nubuwwah, Dusun Muhajirun – Natar, Lampung sbb:
– Pada kajian sebelumnya, di ayat 42, Alloh Ta’ala tidak menyebutkan nama anak Nabi Nuh ‘alayhis salam. Namun para ahli tafsir menyebutkan bahwa namanya adalah : Kan’an. Dalam Al-Quran, manusia disebut dengan 3 panggilan, yakni:
- Disebutkan namanya langsung, sebagaimana penyebutan nama Nuh dalam kisah ini.
- Disebutkan gelarnya saja, sebagaimana Fir’aun dalam kisah Nabi Musa ‘alayhis salam. Raja di Mesir pada saat itu memang digelari sebagai Fir’aun, tapi tidak disebutkan siapa nama aslinya.
- Tidak disebutkan siapa nama atau gelarnya, sebagaimana ayat 42. Untuk hal satu ini memang tidak perlu dicari-cari siapa namanya, kecuali ada keterangan dari ahli tafsir yang didasarkan kepada hadits atau atsar. Hal ini sebagaimana penyebutan seorang Ratu bernama Balqis dalam kisah Nabi Sulayman ‘alayhis salam, ternyata tidak disebutkan langsung oleh Al-Quran. Juga penyebutan (Siti) Hawa dalam kisah Nabi Adam ‘alayhis salam, dsb.
– Ayat ke-43 menjelaskan kisah anak Nabi Nuh yang mencari perlindungan kepada selain Alloh, yakni dia lari ke atas gunung. Padahal Nabi Nuh sudah menegaskan bahwa di hari itu tidak ada yang dapat melindungi dari adzab kecuali Alloh Ta’ala sendiri, maka anaknya termasuk orang-orang yang ditenggelamkan. Demikianlah cara pandang atau paham MATERIALIS dari anak Nabi Nuh diungkapkan oleh Al-Quran, yakni orang-orang yang hanya percaya dan yakin pada KEBENDAAN, tidak yakin pada Dzat MAHA KUASA yang GHOIB.
– Simpulan ayat 43 bahwa : Siapa yang menentang Syari’at maka dirinya akan Tenggelam. Dan akibat dari Tenggelam adalah : menjauhnya harapan orang-orang yang zholim karena menemukan dirinya Binasa.
– Ayat ke-44 menjelaskan kisah surutnya banjir, dimulai dengan perintah Alloh Ta’ala kepada Bumi untuk menelan air dapur, lalu perintah Alloh Ta’ala kepada langit untuk menghentikan hujan sehingga kapal Nabi Nuh berlabuh di bukit Juudii.
– Pada ayat ke-45 seakan-akan Nabi Nuh memprotes kejadian anaknya yang ditenggelamkan, karena Alloh Ta’ala pernah berjanji akan menyelamatkan keluarganya (yakni ayat ke-40 dengan kalimat “wa ahlaka”). Namun beliau juga menyadari bahwa Alloh Ta’ala adalah sebaik-baik hakim, sehingga beliau menyerahkan urusan tersebut kembali kpd-Nya.
– Ayat ke-46 adalah jawaban Alloh Ta’ala bahwa anaknya bukanlah termasuk keluarga Nabi Nuh yang dijanjikan selamat, karena amalnya tidak sholih yakni kafir, tidak beriman kepada Alloh Ta’ala. Bahkan Alloh Ta’ala ingatkan Nabi Nuh untuk tidak meminta sesuatu yang tidak ada ilmu atasnya, sehingga dimasukkan golongan orang-orang Jahil (meminta kepada Alloh suatu hal yang tidak diketahui hakikatnya).
– Simpulan ayat 46 ini menyadarkan manusia bahwa yang akan menjadi KELUARGA (di Dunia dan Akhirot) adalah karena adanya KESAMAAN AKHLAQ MULIA (perilaku sholih), bukan sekedar genealogi (garis keturunan manusia).
– Ayat 47 menggambarkan keinsafan Nabi Nuh ‘alayhis salam. Beliau meredam kekecewaannya dengan berlindung dari tiga hal, yang mana akan menyebabkan beliau termasuk orang-orang merugi, yakni : meminta sesuatu yg tidak tahu hakikatnya, tidak diampuni oleh Alloh Ta’ala dan tidak dirohmati oleh Alloh Ta’ala.
– Ayat 48 menjelaskan bahwa turun-nya Nabi Nuh ‘alayhis salam dari kapal ternyata atas perintah Alloh Ta’ala, karena tidak diketahui bagaimana keadaan Bumi saat itu kecuali atas petunjuk-Nya. Disampaikan keselamatan dan keberkahan dari Alloh Ta’ala atas Nabi Nuh dan para pengikutnya yang turun dari kapal. Namun di kemudian hari ada sebagian keturunan mereka yang diberi kesenangan dunia lalu ditimpa adzab di akhirot.
# Demikian catatan kami, semoga bermanfa’at dan mohon ma’af atas segala kekurangan yang ada.