BismilLah.
Assalamu’alaykum.
Tilawah QS. Hud ayat 96-99 bersama Imaamul Muslimin : Ustadz Yakhsyallah Mansur pada ba’da Shubuh hari Rabu 15 Sya’ban 1444H / 08 Maret 2023M di Masjid An-Nubuwwah, Dusun Muhajirun – Natar, Lampung sbb:
– Pagi ini kita akan kaji kisah tentang Nabi Musa ‘alayhis salam, yang namanya paling banyak disebut dalam Al-Quran bila dibandingkan dengan Nabi lainnya. Menurut para ahli tafsir, hal tersebut menandakan adanya suatu hikmah.
– Pada ayat ke-96, Alloh Ta’ala menyatakan telah mengutus Musa dengan tanda-tanda dan bukti yang nyata. Sebagian ahli tafsir menyebutkan bahwa nama Musa berasal dari Bahasa Ibrani, yang berarti “kayu dan air” karena beliau saat masih bayi dihanyutkan di sungai Nil di dalam kotak kayu oleh Ibunya, yang mendapatkan ilham dari Alloh Ta’ala.
– Kata “sulthon” tidak selalu berarti kekuasaan, dalam ayat ini “sulthon” berarti “bukti”. Salah satu bukti yang sangat menakjubkan adalah tongkat Nabi Musa yang dapat berubah menjadi ular raksasa, dalam suatu riwayat Isroiliyat disampaikan bahwa ular tersebut dapat menelan istana. Bukti lainnya adalah terbelahnya Laut Merah sebagai jalan keluar Bani Isroil dari kejaran Fir’aun dan pasukannya.
– Pada ayat ke-97 disampaikan bahwa Nabi Musa diutus kepada Fir’aun dan “malaihi”, yakni pembesar atau pemuka kaumnya (Qibti). “Malaihi” dikenali setidaknya dengan empat hal, yakni : mereka adalah orang-orang keturunan ningrat, kaya, pandai dan punya pengaruh pada kaumnya.
– Sebagian ahli tafsir menyatakan bahwa Nabi Musa secara fisik memang punya kekurangan, yakni gagap bicara. Dan Alloh Ta’ala perintahkan beliau untuk mendakwahi Fir’aun, seorang raja yang pandai bicara dan mampu mempengaruhi rakyatnya. Kalau kita pikirkan sepintas bagaimana dakwahnya Nabi Musa kepada Fir’aun, maka terkesan tidak logis.
– Sebagian ahli tafsir nyatakan bahwa Nabi Musa itu tidak gagap, tetapi tidak pandai bicara dalam Bahasa kaum Qibti (Mesir). Hal ini disebabkan Nabi Musa pernah lama meninggalkan Mesir, saat beliau menyelamatkan diri (ke suatu negeri dari kejaran tentara Fir’aun) hingga beliau menikah. Sehingga Nabi Musa meminta saudaranya untuk membantu dalam dakwah, yakni Nabi Harun ‘alayhis salam.
– Lanjutan ayat menyatakan bahwa para pemuka kaum Qibti ternyata mengikuti apa saja perintah Fir’aun. Hal ini menandakan bagaimana pandainya strategi Fir’aun menundukkan para kroni-nya sehingga mereka tidak berani menolak walaupun perintahnya tidak benar. Jadi kaumnya Fir’aun itu taat walaupun diperintah untuk berbuat salah.
– Hal tersebut berlawanan dengan kondisi Nabi Musa atas kaumnya, yakni Bani Isroil. Walaupun beliau sudah dikuatkan dengan berbagai bukti berupa mukjizat, kaumnya terus saja membantah saat diperintah. Jadi kaumnya Nabi Musa itu tidak taat walaupun diperintah untuk berbuat benar.
– Pada ayat ke-98 disampaikan bahwa Fir’aun berjalan di depan kaumnya pada hari Qiyamat, yakni sebagai pemimpin mereka. Ayat ini sekaligus sebagai hujjah (alasan kuat) bahwa manusia itu perlu memiliki pemimpin, dan kaum Muslimin pun perlu memiliki pemimpin, yang disebut sebagai Imaam.
– Sebagaimana kita ketahui bahwa di hari Qiyamat nanti setiap ummat beragama akan berbaris di belakang para Nabi. Sedangkan jelas bagi kita bahwa tidak ada lagi Nabi setelah Muhammad RosululLoh, yang ada adalah para Kholifah, mereka disebut juga sebagai Amirul Mukminin atau Imaamul Muslimin.
– Kata “waroda” dalam lanjutan ayat lazimnya ditujukan kepada Air, sehingga pemimpin diharapkan dapat membawa kaumnya kepada sumber air, yang menjadi keperluan hidup primer manusia. Nah para pemuka kaum Qibti berharap mendekati Fir’aun untuk mendapatkan “air kehidupan”, yakni jabatan dan kekayaan. Tetapi di hari Qiyamat ternyata Fir’aun justru membawa mereka menuju “Api” Neraka. Ayat ini ditutup dengan pernyataan Alloh Ta’ala bahwa Neraka itulah seburuk-buruk tempat yang didatangi.
– Fir’aun adalah nama gelar, bukan nama pribadi, dan Alloh Ta’ala tidak menyebutkan dengan jelas siapa nama sang Fir’aun dalam ayat diatas, maka kita pun tidak perlu repot mencari tahu siapa nama sebenarnya. Di sisi lain, Alloh Ta’ala menyebutkan gelar Fir’aun adalah dalam rangka mengingatkan manusia bahwa siapa saja bisa bertindak seperti Fir’aun, maka perhatikan akhir kisah ini.
– Pada ayat ke-99 disampaikan bahwa Fir’aun dan kaumnya akan dilaknat di Dunia, diantaranya dengan tenggelam di Laut Merah, dan bagi mereka juga ada laknat pada hari Qiyamat. Laknat Alloh dan laknat para malaikat yang semula dianggap ghoib (tanpa bukti) di Dunia, sekarang jadi kenyataan saat di Akhirot. Ayat ini ditutup dengan pernyataan Alloh Ta’ala bahwa laknat itulah seburuk-buruk pemberian.
– Kisah tentang Nabi Musa dalam Surat Hud ini ternyata berakhir dalam 4 ayat saja, memang lebih pendek dibandingkan pada surat lainnya, tapi 4 ayat ini sudah membawa satu tema tersendiri (yakni “Pemimpin Yg Menuntun Ke Neraka”).
# Demikian catatan kami, semoga bermanfa’at dan mohon ma’af atas segala kekurangan yang ada