Nasihat Shofar 1441H – Rosul, Nabi dan Kholifah Juga Manusia

BismilLah.

Assalamu’alaykum.
Tilawah QS.Al-Isro 94-96 bersama Imaamul Muslimin pada hari Kamis ba’da Shubuh, 11 Shofar 1441H / 10 Oktober 2019M di Masjid An-Nubuwwah, Dusun Al-Muhajirun, Lampung sbb:

– Pada ayat ke-94 dinyatakan oleh Alloh Ta’ala bahwa yang menghalangi manusia untuk beriman adalah kesombongan mereka. Karena mereka menanyakan, “Mengapa seorang Rosul diutus dari kalangan manusia?”
– Ayat ini merupakan kelanjutan dari ayat-ayat sebelumnya, yang mengkisahkan bahwasanya orang-orang kafir telah memberikan 6 (enam) syarat agar mereka dapat mengimani ke-Rosul-an beliau. Enam syarat tersebut adalah :
1). Memancarkan air dari Bumi, yang terus mengalir tanpa henti untuk kami,
2). Mempunyai kebun kurma dan anggur, dengan sungai-sungai mengalir diantaranya,
3). Menjatuhkan langit hingga berkeping-keping ke atas diri kami,
4). Mendatangkan Alloh dan para malaykat hingga berhadapan muka dengan kami,
5). Memiliki rumah yang terbuat dari Emas,
6). Pergi naik ke langit, lalu membawa bukti berupa kitab yang bisa kami baca.

– Maka kemudian Alloh Ta’ala memerintahkan kepada RosululLoh shollalLohu ‘alayhi wa sallam agar mengatakan, “Maha Suci Tuhanku, bukankah aku ini hanya seorang manusia yang menjadi Rosul?” (akhir ayat ke-93). Perkataan yang diperintahkan oleh Alloh Ta’ala inilah yang membedakan antara manusia dan Tuhan, karena semua syarat diatas tidaklah mampu dipenuhi oleh manusia. Dan kita ketahui bahwa RosululLoh adalah seorang manusia yang memakan makanan dan berjalan di pasar-pasar (lihat QS.Al-Furqon 7).

– Sederhana saja Alloh Ta’ala memberikan hujjah bagaimana membedakan antara manusia dan Tuhan. Diantaranya, ketika sebagian manusia mempertuhankan Nabi ‘Isa dan (bahkan) ibunya, maka Alloh Ta’ala menyatakan, “Keduanya biasa memakan makanan.” (lihat QS.Al-Maidah 75). Maka sungguh tidak dapat diterima oleh akal bahwa ada sebagian manusia yang tidak dapat membedakan manakah Tuhan dan manakah manusia biasa.

– Jadi kesombongan orang-orang kafir tidak akan sirna, walaupun ke-enam syarat diatas (pada ayat-ayat sebelumnya) telah dipenuhi, karena memang mereka tidak menginginkan Rosul dari kalangan manusia, mereka ingin agar Rosul itu diutus dari kalangan malaykat.

– Pd ayat ke-95 dinyatakan oleh Alloh Ta’ala bahwa bila ada malaykat yang berjalan-jalan dengan tenang di Bumi niscaya akan ada Rosul dari kalangan malaykat. Secara makna, sebenarnya Alloh Ta’ala menolak adanya hal tersebut, mengapa?

– Hikmah diutusnya Rosul dari kalangan manusia adalah agar tidak menjadi hujjah kekufuran di kemudian hari. (Hujjah itu misalkan 🙂 Ketika ada perintah shoum, apakah para malaykat makan minum? Tentu saja hanya manusia yang bisa merasakan lapar dan haus. Ketika ada perintah sholat, apakah para malaykat malas? Tentu saja hanya manusia yang bisa merasakan enggan, ngantuk dan capek. Diutusnya Rosul dari kalangan manusia agar dimaklumi bahwa itulah kasih-sayang Alloh Ta’ala, dan bahwasanya semua syari’at yang diberikan oleh Alloh Ta’ala pasti bisa dilaksanakan oleh manusia (yakni dengan adanya teladan Rosul).

– Pd ayat ke-96, Alloh Ta’ala memerintahkan kepada RosululLoh agar mengatakan bunyi ayat tersebut. Ketika orang-orang kafir meminta bukti ke-Rosul-an beliau, maka cukuplah Alloh Ta’ala yang menjadi saksi. Di akhir ayat ditegaskan bahwa Alloh Ta’ala Maha Mengetahui yang batin (khobiron) dan Maha Mengetahui yang lahir (bashiron). Secara makna Alloh Ta’ala pasti tahu bahwa Muhammad RosululLoh shollalLohu ‘alayhi wa sallam adalah seorang yang ummi, tidak dapat membaca dan menulis. Tetapi kekurangan itu tidaklah kemudian membatalkan ke-Nabi-an beliau.

– Sebagaimana Nabi Musa yang gagap bicara, beliau semula berusaha menolak amanat tersebut karena ada kekurangan pada dirinya, namun beliau akhirnya meminta kepada Alloh Ta’ala agar saudaranya, yakni Harun, yang lebih fasih bicaranya membantu dakwah beliau kepada Fir’aun. Kekurangan yang ada pada Nabi Musa ternyata tidak membatalkan ke-Nabi-an beliau.

– Bilamana para Nabi dan Rosul memiliki kekurangan, tentu demikian pula dengan Kholifah, yang menggantikan kedudukan Nabi dan Rosul dalam menyantuni ummat, pasti memiliki kekurangan. Lalu apakah Kholifah yang sudah dibay’at menjadi batal kepemimpinannya, hanya karena memiliki (berbagai) kekurangan? Tentu tetap sah dan tidak batal.

– Banyaknya syarat yang diajukan untuk menjadi Kholifah, seakan-akan tidak memperbolehkan diangkat dari kalangan manusia biasa. Mulai dengan syarat : mujtahid, adil, min quroisy, dan lain-lain. Sampai-sampai ada sebagian ulama yang berpendapat bahwa Kholifah itu tidak wajib, karena memang tidak ditemukan seseorang yang mumpuni dengan berbagai kelebihan yang harus ia miliki.

– Yang harus kita pahami bahwa para Nabi dan Rosul tidak pernah meminta amanat sebelumnya, dan tidak ada seorang manusia pun yang menawarkan diri menjadi Nabi  atau Rosul. Bagaimana dengan Kholifah? Hakekatnya sama, RosululLoh sabdakan agar tidak meminta amanat menjadi pemimpin. Nah apalagi menawarkan diri menjadi pemimpin. Hal mendasar ini jelas berbeda dengan pandangan manusia pada umumnya. Maka benarlah apa yang kita yakini bahwa Islam itu non-politik.

– Setiap muslim pasti memiliki kelebihan yang tidak dimiliki oleh muslim lainnya, maka Zaid bin Tsabit lebih disarankan oleh RosululLoh untuk menekuni bahasa, Abu Huroyroh menekuni hadits, ‘AbdulLoh bin Mas’ud menekuni tafsir, Kholid bin Walid menekuni strategi perang, dan lain sebagainya.

– Ketika masa ‘Umar bin Khoththob memimpin, ‘AbdulLoh bin ‘Abbas selalu diikutkan dalam musyawaroh bersama pemimpin-pemimpin Islam. Mereka (para shohabat yang lebih tua) merasa heran, mengapa ada anak kecil di musyawaroh para pemimpin? Ternyata saat membahas QS.An-Nashr, justru ‘AbdulLoh bin ‘Abbas memiliki pengetahuan lebih dari yang lain. Maka demikianlah ‘Umar mendudukkan para shohabat sesuai dengan kelebihannya. Para Kholifah selalu dilengkapi dengan adanya para pembantu mereka.

– Dan ingat bahwa tidak semua dalil bisa diambil dari kisahnya secara langsung. Sebagai contoh adalah kisah RosululLoh yang mencium istrinya sedangkan beliau telah berwudhu. Hikmahnya adalah bahwa sentuhan kulit antara lelaki dan perempuan itu tidak membatalkan wudhu, jadi bukan hanya fokus pada kisah mencium istri saja.

– Hal itu juga sebagaimana Imam Bukhori yang mengambil kisah bahwa Rosul menyatakan dekatnya para penyantun anak yatim dengan beliau, sembari menunjukkan jari telunjuk dan jari tengah yang berhimpitan, sebagai dalil bahwa orang bisu itu sah tholaq-nya. Hikmah ini sepintas tidak nyambung, tapi isyarat jari Rosul pada kisah tersebut diambil (oleh Imam Bukhori) sebagai dasar bahwa isyarat itu sah untuk menunjukkan hukum, sehingga orang bisu pun dapat men-tholaq istrinya dengan isyarat jari, tanpa harus bicara.

# Demikian ringkasan kami, semoga bermanfa’at dan mohon maaf atas segala kekurangan.