Nasihat Rojab 1441H – Ummat Islam Itu Sangat Bersih

BismilLah.

Assalamu’alaykum.
Kajian khusus tentang Kebersihan Ummat Islam, bersama Imaamul Muslimin, Ustadz Yakhsyalloh Mansur (hafizhohulLoh Ta’ala) pada hari Kamis ba’da Shubuh, 11 Rojab 1441H/5 Maret 2020M di Masjid An-Nubuwwah, Dusun Al-Muhajirun, Lampung sbb:

– Kali ini kita tidak melanjutkan kajian QS.Ibrohim, tetapi khusus tentang kebersihan ummat Islam dan kaitannya dengan wabah virus corona (covid-19)

– Secara umum, kaum muslimin sudah mengenal tentang pentingnya kebersihan, diantaranya berdasar hadits :
(1).”An-nazhofatu minal iman.” [Kebersihan bagian dari Iman], dan
(2).”Ath-thuhuru syath-rul iman.” [Kesucian bagian dari Iman].
Tetapi hadits ke-1 ternyata riwayatnya dho’if (lemah), sedangkan hadits ke-2 riwayatnya shohih (kuat).

– Dalam berbagai kitab fiqh, termasuk Imam 4 mazhab (Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali), selalu didahului dengan Bab Thoharoh (Bersuci). Hal itu tentu ada hikmahnya. Lalu apa yang membedakan antara An-Nazhofah dan Ath-Thuhur, yang sepintas kita anggap identik? An-Nazhofah (bersih) hanya meliputi zhohir (yang nampak) saja, sedangkan At-Thuhur (suci) adalah bersih baik zhohir maupun bathin (yang tidak nampak).

Pertama, kita merujuk QS.At-Taubah 9/108, yang mana dalam tafsir dijelaskan asbab nuzul-nya berkenaan dengan ahli (penduduk) Quba. Hingga RosululLoh shollalLohu ‘alayhi wa sallam bertanya kepada mereka, hal apa yang menyebabkan turunnya ayat berisi pujian Alloh Ta’ala atas perbuatan mereka. Sepintas memang tidak disebut secara khusus tentang ahli Quba, tetapi Alloh Ta’ala menyinggung adanya orang-orang yang suka bersuci.

– Dalam budaya orang ‘Arab saat itu, bila mereka selesai buang air (besar atau kecil) maka mereka gunakan batu sebagai alat pembersihnya, diistilahkan sebagai “istijmar” bila pembersihan dengan batu, dan “istinja`” bila pembersihan dengan air. Kalau sekarang “orang Barat” menggunakan tissu (“kertas” sebagai pengganti “batu”) untuk membersihkan kotoran BAB/BAK (Buang Air Besar/Kecil), sebenarnya hal itu sama jahiliyyah-nya dengan orang ‘Arab dahulu. Nah ahli Quba ternyata tidak mencukupkan pembersihan hanya dengan batu, bahkan mereka menggunakan air sebagai alat pembersih kotoran BAB/BAK.

– Ingat, ayat 108 ini dikaitkan dengan Masjid, yakni tempat yang semestinya dijaga kebersihannya karena ditempati oleh orang-orang yang suka bersuci dan membersihkan diri. Tetapi apakah kita berani menengok kamar kecil Masjid? Padahal kamar kecil Masjid erat kaitannya dengan istinja` dari najis. Mungkin saja yang kita jumpai di kamar kecil Masjid justru adalah suasana kotor, tidak bersih.

– Pengalaman kami beberapa tahun lalu sewaktu di China selama 1 bulan, ternyata di toilet tidak disediakan air untuk istinja`, jadi kita mesti bawa air sendiri kalau mau ke kamar kecil. Sekilas melihat ada air, yang tadinya kami kira air bersih, ternyata ada yang memberitahu bahwa air itu adalah air kencing yang sengaja ditampung. Bahkan bukan hanya air kencing, tapi kotoran manusia juga tidak dibuang, tapi ditampung untuk digunakan sebagai pupuk (tanaman).

– Ayat ini juga mengaitkan kebersihan dan taqwa, yang mana seruan taqwa selalu diingatkan oleh Alloh Ta’ala melalui firman-Nya, yang dibaca minimal sepekan sekali oleh Khotib Jum’at, yakni QS.Ali ‘Imron 3/102.

– Ayat ini ditutup dengan pernyataan bahwa Alloh Ta’ala menyukai orang-orang yang “sangat bersih”. Koq bukan diartikan “bersih” saja? Ya, karena ada perubahan kata (wazan) dalam Bahasa ‘Arab, yang menunjukkan “bersangatan”, yakni “muth-thoh-hirin”. Jadi inilah ummat Islam, yang mereka itu bertaqwa dan sangat bersih, bukan hanya bersih biasa saja.

– Setelah masjid, lalu tempat mana lagi yang harus kita jaga kebersihannya? Yakni rumah kita, mengapa? Karena rumah adalah masjid ke-2 yang kita tempati untuk menegakkan sholat sunnah. Kalau sebelum sholat harus bersuci, maka sudah tentu tempat sholat-nya juga harus suci dan bersih. Pastikan rumah kita selalu bersih, jangan sampai terlihat kotor.

– Sering kami ulang-ulang sebagai nasihat kepada para ikhwan, bahwa perbedaan rumah Muslim dan Yahudi di Madinah (di masa RosululLoh) adalah halaman yang bersih. Bilamana dijumpai ada halaman rumah yang bersih, maka bisa dipastikan pemiliknya adalah Muslim. Tapi bila dijumpai ada halaman rumah yang kotor, kemungkinan besar pemiliknya adalah Yahudi. Tetapi bagaimana kondisi rumah kita hari ini, apakah kenyataan masa itu menjadi terbalik kini?

– Nah kalau para ikhwan kan punya rumah, lalu bagaimana dengan para santri? Mereka memang tidak punya rumah, tapi mereka tinggal di Asrama. Ya, mari dijaga dan selalu bersihkan Asrama-nya. Kalau pun dikritik Pesantren bukan pendidikan Islam, ya kenyataan umumnya Pesantren memang agak susah diajak menjaga kebersihan, padahal kebersihan adalah ajaran agama Islam. Memang sulit membudayakan hidup bersih, karena memang belum menjadi kebiasaan para santri. Jangan menyalahkan jumlah tempat sampah yang kurang banyak, terkadang malah tempat sampahnya yg hilang.

Kedua, kita merujuk QS.Al-Baqoroh 2/222 yang menjelaskan tentang haidh bagi perempuan. Kita semua tahu bahwa tidak ada hal yang paling pribadi bagi perempuan Islam (muslimat) kecuali apa yang disebutkan oleh ayat ini, yakni tempat keluarnya haidh. Sampai pun hal yang paling pribadi, ternyata Alloh Ta’ala mengaitkannya dengan kebersihan.

– Dalam ayat ini Muhammad RosululLoh shollalLohu ‘alayhi wa sallam diperintah untuk mengatakan bahwa haidh itu sesuatu yang kotor. Dengan indahnya bahasa, Alloh Ta’ala lanjutkan dengan kalimat “jauhilah istri dan jangan kamu dekati mereka sehingga suci”. Suci dalam ayat ini mensyaratkan agar istri mandi wajib terlebih dahulu, setelah masa haidh-nya selesai. Hal ini melambangkan ajaran kebersihan diri, tidak saja istri merasa sudah bersih karena haid-nya berhenti, tapi juga istri diwajibkan mandi agar mereka suci untuk bercampur (jima’).

– Terjadi perbedaan pandangan ahli fiqh atas ayat ini, yakni antara kalimat “hatta yath-hurna” dan “fa-idza tathoh-harna”. Sebagian ahli fiqh berpendapat, bila haidh telah berhenti maka tidak perlu mandi dahulu, karena istri sudah dalam keadaan boleh didekati oleh suami. Sementara ahli fiqh lain berpendapat, istri wajib bersuci dahulu, bila haidh-nya sudah berhenti. Maka disinilah kaidah fiqh berperan, bahwa “keluar dari masalah sengketa itu dianjurkan“, sehingga pilihan : istri yang sudah berhenti dari haidh [dan] telah bersuci dengan cara mandi wajib, memenuhi unsur kedua-duanya, baik “hatta yath-hurna” maupun “fa-idza tathoh-harna”.

– Ayat 222 ditutup dengan pernyataan bahwa Alloh Ta’ala menyukai orang-orang yang bertawbat dan sangat bersih.

– Mari kita jaga kebersihan mulai dari Masjid, rumah, lingkungan dan diri pribadi kita. Kita akan dijaga kesehatannya oleh Alloh Ta’ala, insya Alloh.

# Demikian ringkasan kami, semoga bermanfa’at dan mohon maaf atas segala kekurangan