Nasihat Romadhon 1446H – I’tikaf Adalah Perintah AlLoh Ta’ala

BismilLah.
Nasihat Imaamul Muslimin : Ust. Yakhsyallah Mansur pada ba’da Shubuh hari Sabtu, 22 Romadhon 1446H / 22 Maret 2025 di Masjid An-Nubuwwah, Natar – Lampung sbb:

Bicara tentang I’tikaf maka kita merujuk pada QS. Al-Baqoroh 187, yang mana AlLoh Ta’ala berfirman, “…wa la tubasyiruwhunna wa antum ‘akifuwna fil masajid…”, yang artinya “…dan jangan kamu campuri mereka (para istri) ketika kamu i’tikaf (berdiam diri) dalam masjid…”

Perintah AlLoh disampaikan dalam dua bentuk, yakni “amar” (perintah) dan “khobar” (berita), jadi tidak harus berbentuk “amar” untuk menyatakan bahwa hal yang disebut AlLoh itu sebuah perintah. Contoh nya : perintah musyawaroh, dalam bentuk “amar” ada dalam QS. At-Tholaq 6, adapun bentuk “khobar” ada dalam QS. Asy-Syuro 38. Contoh lainnya : perintah menyusui, dalam bentuk “amar” ada dalam QS. Al-Baqoroh 233, adapun bentuk “khobar” ada dalam QS. Al-Ahqof 15.

Apa hubungan bahasan “perintah” dengan I’tikaf? Ibadah I’tikaf adalah perintah AlLoh, walaupun bentuk kalimatnya “khobar”, bukan “amar”. Hal ini diperkuat dengan riwayat bahwa RosululLoh shollalLohu ‘alayhi wa sallam sejak diturunkan ayat perintah puasa di bulan Romadhon, beliau tidak pernah meninggalkan I’tikaf hingga saat wafatnya. Pernah suatu kali beliau tertinggal I’tikaf, maka beliau menggantinya pada bulan lain selama 20 hari (HR. Ahmad no.12036).

Secara ilmu fiqh (hukum Islam) memang dinyatakan bahwa I’tikaf itu sunnah muakkadah (yang sangat dianjurkan). Adapun kita, memang berusaha ittiba’ (mengikuti), apa yang dikerjakan RosululLoh, kita berusaha kerjakan juga. Jadi tidak sekedar membedakan mana yang wajib, mana yang sunnah, karena terlalu banyak hukum sunnah dalam keseharian kita. Contoh : adzan itu hukum-nya sunnah, apakah lalu kita tiadakan saja? Contoh lain : do’a-do’a sepanjang hari (tidur, makan, belajar, dsb) hukum-nya juga sunnah. Kalau semua yang sunnah itu ditinggalkan, maka syariat Islam ini akan “kering”, dan kita tidak lagi ittiba’ kepada Muhammad RosululLoh shollalLohu ‘alayhi wa sallam.

AlhamdulilLah, sekarang I’tikaf lebih mudah dijumpai di beberapa masjid, ini bila dibandingkan masa kepemimpinan Imaam (ke-2) Muhyiddin Hamidy, apalagi masa Imaam (ke-1) Wali Al-Fatah. Saat itu sulit sekali menemukan masjid jami’ (yang digunakan untuk sholat Jum’at) di Jakarta, yang terbuka untuk ibadah I’tikaf, semua masjid menutup pintunya. Mari terus kita makmurkan ibadah I’tikaf, jangan sampai sepi karena adanya anggapan “ini kan sunnah, bukan wajib”.

Syariat puasa itu istimewa karena hanya ada pada satu surat, yakni QS. Al-Baqoroh 183-187, termasuk I’tikaf. Sedangkan syariat sholat, zakat, haji itu tersebar di beberapa surat.

Hakekat perintah puasa itu adalah kasih sayang AlLoh kepada hamba-Nya. Kenapa demikian? Setidaknya ada tiga hal sbb :

1). Untuk kesehatan fisik

Penyebab sakit yang paling sering adalah pola makan kita, maka di saat puasa, kegiatan makan diatur sedemikian rupa. Yang biasanya 3 jam tidak makan sudah gelisah, maka saat puasa sampai 13 jam pun kita sanggup lapar. Pembahasan puasa ditinjau dari ilmu kedokteran sudah tidak diragukan lagi efek baiknya.

2). Untuk kesehatan psikis

Para shohabat RosululLoh makin cerdas dengan berpuasa, karena di-asah akalnya supaya lebih “tajam” daripada nafsunya. Mungkin hal itu yang dinamakan sebagai ESQ pada masa kini. Sebuah penelitian (jangka panjang) menyimpulkan bahwa seorang anak (usia TK) yang mampu kendalikan emosi nya (EQ), saat dewasa nanti akan sukses dalam kehidupan dunia-nya. Bagi seorang muslim, puasa berfungsi mengendalikan emosi, sekaligus meningkatkan spiritual-nya.

3). Untuk mendekatkan diri kepada AlLoh ‘Azza wa Jalla

Ketika AlLoh Ta’ala menyeru perintah puasa, digunakan kalimat “Ya ayyuhal ladzina amanuw”, yang artinya “Wahai orang-orang yang beriman”, walaupun kenyataannya tidak semua orang yang berpuasa itu didasari oleh Iman. Mungkin karena pengaruh lingkungan, karena keterpaksaan, dsb. Tapi AlLoh dengan rasa cinta memanggil semua hamba-Nya dengan seruan yang sama, semua hamba-Nya dianggap beriman. Nah, salah satu ciri cinta adalah : ingin selalu berdekatan dengan pihak yang dicintai. Maka AlLoh Ta’ala sediakan ibadah I’tikaf ini untuk kita menyendiri, mengevaluasi perjalanan hidup, memperbanyak dzikir, sholat, baca Al-Quran guna mendekatkan diri kepada-Nya. Di sisi lain, jangan kita anggap ibadah puasa (termasuk I’tikaf) sebagai beban, karena akan menjadi berat nanti untuk melaksanakan-nya.

Bila menengok sejarah, justru para shohabat berperang (ibadah puncak terberat) dalam kondisi puasa. Yakni saat terjadinya Perang Badar Kubro (th. 02 Hijriyah, berjumlah 313 atau 317 pasukan muslimin, dengan hanya 2 orang berkuda, selainnya adalah pejalan kaki), dan Perang Fathu Makkah (th. 8 Hijriyah, berjumlah 10 ribu pasukan muslimin, walaupun tidak ada pertumpahan darah).

Ingatlah bahwa ibadah puasa itu AlLoh wajibkan kepada kita sebagai bentuk kasih sayang kepada hamba-Nya. Selesai puasa Romadhon pun, AlLoh (melalui teladan RosululLoh) bimbing kita untuk makan sehari saat Idul Fithri, lalu dilanjutkan dengan puasa sunnah 6 hari bulan Syawwal. Hal tersebut supaya kita tidak “balas dendam” dengan makan berlebihan setelah Romadhon berlalu, yang mengakibatkan kita jadi sakit, bahkan cukup banyak kasus masuk RS karena fenomena ini.

Demikian catatan kami, semoga bermanfa’at dan mohon ma’af atas segala kekurangan yang ada.