Nasihat Robi’ul Awwal 1446H – Hubungan Sesama Makhluq

BismilLah. 
Catatan nasihat Imaamul Muslimin : Ust. Yakhsyallah Mansur pada ba’da Shubuh hari Kamis, 02 Robi’ul Awwal 1446H / 05 September 2024M di Masjid An-Nubuwwah, Natar – Lampung sbb:

  • Melanjutkan kajian sebelumnya, pagi ini kita sampai pada QS. Ar Ro’du ayat 21.
  • Ayat ke-21 dalam terjemah Bahasa Indonesia sbb : “Dan orang-orang yang menghubungkan apa yang diperintahkan Allah agar dihubungkan, dan mereka takut kepada Tuhannya dan takut kepada hisab yang buruk.”
  • Terjemah ini juga menunjukkan kurangnya kosa kata Bahasa Indonesia karena tidak membedakan antara “yakhsyawna” dan “yakhoofuuna”, yang sama-sama diartikan sebagai “takut”.
  • Ulul Albab adalah orang-orang yang menghubungkan atau menyambungkan apa-apa yang telah AlLoh perintahkan untuk disambungkan.
  • Yang disambung itu ada tiga :
    1). Menyambungkan antara sesama manusia, baik kerabat (disebut silaturohmi) maupun non kerabat (disebut silaturohim), juga kepada muslim maupun non muslim, untuk saling mengenal dan berbuat baik.
    2). Menyambungkan antara Kholiq (Pencipta) dan hamba,
    3). Menyambungkan antara ilmu dan amal sholih.
  • Masalah yang marak baru-baru ini, yakni adzan Maghrib di TV akan diganti dengan “running text” sebagai bentuk toleransi atas kegiatan misa Paus di Stadion Senayan. Sebenarnya bagaimana toleransi yang diajarkan oleh syari’at Islam?
  • Bila merujuk pada kenyataan sejarah maka toleransi dalam agama Islam itu sangat tinggi, diantaranya :
    A). Berdasar QS. Al Kafirun : bahwa ibadah dilaksanakan berdasar agama masing-masing, muslimin tidak menganggu ibadah non muslim.
    B). Berdasar QS. Al Baqoroh 256 : bahwa tidak ada paksaan dalam agama, silakan manusia memeluk agama yang diyakini. Ketika shohabat Anshor memaksa anak-anak mereka untuk memeluk Islam maka turunlah ayat ini. Mungkin saja maksudnya baik, tapi karena memaksa dalam hal kebenaran maka hal itu disalahkan oleh AlLoh Ta’ala.
    C). RosululLoh berdiri saat ada jenazah Yahudi lewat di hadapan beliau, saat ditanya oleh ‘Umar bin Al-Khoththob : mengapa engkau berdiri untuk seorang Yahudi? Beliau berikan alasan sebagai penghormatan bahwa mayat itu juga manusia.
    D). Dalam piagam Madinah : ternyata keberadaan orang kafir, selain Yahudi, juga diakui karena mereka bersedia berdamai dengan muslimin.
    E). Di negara Mesir dan Libanon ternyata muslimin dan nasrani hidup berdampingan dengan damai. 
  • Ingat, hubungan yang diperintahkan oleh AlLoh itu lebih tinggi nilainya daripada hubungan yang dibuat sebagai hasil olah pikir manusia, seperti hal nya politik, kebangsaan, organisasi, dsb. Akibat hubungan semacam ini (yang terakhir disebut) mereka tiba-tiba saling bermusuhan, baik antara satu partai dengan partai lainnya, antara satu bangsa dengan bangsa lainnya, antara satu organisasi dengan organisasi lainnya, dan seterusnya.
  • Bahkan sebagian Ulama menyebutkan bahwa menyambung hubungan antara sesama makhluq itu pun termasuk yang diperintahkan oleh AlLoh Ta’ala. Hal ini sebagaimana hadits yang berkisah tentang seorang pelacur yang menolong anjing kehausan dan seorang perempuan ahli ibadah yang mengurung kucing hingga mati. Hikmahnya bahwa menolong sesama makhluq AlLoh akan mendapatkan pahala, dan sebaliknya, menyiksa makhluq AlLoh pun akan mendapatkan dosa.
  • Diantara isme yang memotong hubungan antara manusia adalah : eksistensialisme (pemahaman bahwa manusia itu bebas berbuat untuk dirinya sendiri. Ketika diwajibkan berjilbab maka berkelit dengan jawaban : ini rambutku sendiri, ketika diwajibkan menutup aurot maka berkelit dengan jawaban : ini pahaku sendiri). Juga komunisme (pemahaman bahwa manusia bisa mengatur dirinya sendiri, tidak memerlukan adanya Tuhan), dan sebagainya, padahal sudah ada aturan (syariat) yang diturunkan oleh AlLoh Ta’ala kepada manusia. Kita ini tinggal tunduk dan menjawab : “sami’na wa atho’na” (kami dengar dan kami taati).
  • Menyambungkan ilmu dengan amal sholih telah dirusak oleh Dunia Barat dengan slogan “ilmu untuk ilmu” sehingga rusaklah akhlaq para ilmuwan. Mereka menemukan berbagai hal yang memajukan peradaban manusia, tetapi sekaligus juga menghancurkannya karena ilmu mereka tidak dibarengi dengan amal sholih. Muncul pula slogan “seni untuk seni” sehingga seorang seniman menggambar manusia telanjang pun dianggap sah-sah saja, tidak lagi perduli dengan etika dan agama.

Demikian catatan kami, semoga bermanfa’at dan mohon ma’af atas segala kekurangan yang ada