BismilLah.
Catatan nasihat Imaamul Muslimin : Ust. Yakhsyallah Mansur pada ba’da Shubuh hari Rabu, 01 Robi’ul Awwal 1446H / 04 September 2024M di Masjid An-Nubuwwah, Natar – Lampung sbb:
- Kali ini kita akan mengkaji QS. Ar Ro’du ayat ke 19-20.
- Ayat ke-19 dalam terjemah Bahasa Indonesia : “Apakah orang yang mengetahui, bahwa apa yang diturunkan Tuhan kepadamu adalah Al-Haq (kebenaran), sama dengan orang yang buta? Hanya orang berakal saja yang dapat mengambil pelajaran.”
- Ada banyak gelar yang disebutkan dalam Al-Quran untuk manusia yang mau berpikir, yang dalam ayat ini disamakan dengan “orang yang mengetahui”, diantaranya : Ahludz Dzikri, Ulin Nuha, Ulil Abshor, Ulama, dan sebagainya. Tetapi sebutan “Ulul Albab” adalah gelar yang paling tinggi.
- Sedangkan yang disamakan dengan “orang yang buta” adalah manusia yang tidak mau memikirkan dan tidak menerima bahwa Al-Quran itu adalah kebenaran absolut dari Tuhan.
- Disebut Al-Haq saat menunjuk Al-Quran karena ia adalah firman AlLoh ‘Azza wa Jalla, yang kebenarannya adalah absolut, harus diterima oleh manusia tanpa penolakan. Adapun ayat-ayat “mutasyabihat”, kedudukannya tetap Haq, hanya saja manusia belum mampu memahaminya secara tepat.
- Berbeda hal-nya dengan kedudukan Hadits, yang disebut paling tinggi sebagai Shohih, bukan Haq. Karena itu mungkin saja ada sebagian Ahli Hadits yang menyatakan suatu hadits sebagai Shohih, sementara Ahli Hadits lainnya menyatakan kedudukan hadits tersebut sebagai Hasan atau Dho’if, dan demikian sebaliknya.
- Sepandai apa pun seorang manusia dengan segudang ilmu dan gelar akademiknya, bila ia tidak mengakui kebenaran Al-Quran maka AlLoh Ta’ala memberinya gelar sebagai “orang buta”.
- Secara ringkas, berdasar ayat ini, ciri Ulul Albab yang utama adalah mengakui kebenaran Al-Quran, walaupun kemudian AlLoh Ta’ala menjelaskan ciri lainnya dalam ayat selanjutnya.
- Ayat ke-20 dalam terjemah : “(yaitu) orang yang memenuhi janji Allah dan tidak melanggar perjanjian.”
- Karena kurangnya kosa kata dalam Bahasa Indonesia maka kata “Ahdi” dan “Mitsaq” diartikan sama saja sebagai “janji”, padahal makna keduanya berbeda jauh.
- ‘Ahdi adalah janji yang tidak perlu syarat dan ditujukan kepada AlLoh Ta’ala, sedangkan Mitsaq adalah janji yang memerlukan syarat dan ditujukan kepada manusia.
- Dalam ayat tersebut kedua janji itu disebutkan tidak sebanding, yang ‘ahdi disebut “memenuhi”, sedangkan yang mitsaq disebut “tidak melanggar”. Mengapa tidak disamakan saja, misalkan : sama-sama memenuhi atau sama-sama tidak melanggar? Ya, karena kedudukan kedua janji itu berbeda.
- Kalau saja ditanyakan : lebih takut mana manusia dalam melanggar janjinya, apakah takut kepada AlLoh atau takut kepada sesama manusia? Bahkan, kebanyakan manusia lebih takut melanggar perjanjian kepada sesama manusia. Contoh riil nya : saat absensi, kalau alpa maka timbul rasa takut akan dikenakan sangsi. Bagaimana dengan adzan? Ga datang, ya merasa tenang saja, seakan tidak takut kena sangsi. Begini ini kebanyakan pola pikir manusia, mereka meyakini yang terlihat dan menolak yang ghoib (paham materialisme).
- Maka ayat ini menyatakan : ciri Ulul Albab adalah manusia yang memenuhi janji kepada AlLoh Ta’ala dan tidak melanggar janji kepada sesama manusia.
Demikian catatan kami, semoga bermanfa’at dan mohon ma’af bila ada kekurangan.