BismilLah.
Catatan kajian Tafsir Jalalayn QS. Al Baqoroh 226-228 bersama Ustadz Mastur dan Imaamul Muslimin : Ust. Yakhsyallah Mansur pada hari Jum’at ba’da Shubuh tgl. 8 Dzulhijjah 1445H/14 Juni 2024M di Masjid An-Nubuwwah – Natar, Lampung sbb :
@Ayat 226
- Bagi orang-orang yang melakukan Ila` kepada istri-istri mereka, artinya bersumpah tidak akan mencampuri (jima’) istri-istri mereka, maka para istri diberi tangguh, atau menunggu selama empat bulan.
- Jika mereka (para suami) kembali, yakni rujuk (dari sumpah tadi) di masa tunggu itu atau sesudah masa tunggu itu (habis) supaya bisa menuju lubang (jima’), maka sungguh AlLoh Maha Pengampun, bagi mereka (para suami) yang telah membuat perempuan menderita dengan sumpahnya itu, (dan AlLoh) Maha Penyayang, terhadap mereka.
@Ayat 227
- Dan jika mereka (para suami) ber-‘azam (bertekad) untuk tholaq (talak / menceraikan istri), atau ba`in yang tidak mau rujuk lagi maka mereka harus melakukan cerai. Maka sungguh AlLoh Maha Mendengar, ucapan mereka, lagi Maha Mengetahui, akan tekad mereka. Hal diatas bermakna : tidak ada kesempatan bagi para suami setelah masa tunggu habis kecuali -memutuskan- kembali (rujuk) atau tholaq (cerai).
@Ayat 228
- Dan perempuan-perempuan yang ditalak hendaknya menunggu, atau menahan, diri mereka, dari menikah, selama tiga kali quru`, yang dihitung dari saat jatuh-nya talak.
- Kata quru’ adalah jamak dari kata qor-un, dengan fathah pada huruf qof. Yang dimaksud quru` ada dua pendapat : (yakni bisa dihitung dari) saat suci maupun saat haidh, hal ini berlaku untuk perempuan yang -sudah- dicampuri (jima’).
- Adapun selain mereka (perempuan yang belum dicampuri) maka tidak berlaku ‘iddah (masa tunggu) berdasar firman AlLoh Ta’ala dlm QS. Al-Ahzab 49 [ Maka tidak ada masa ‘iddah atas mereka ], dan selain perempuan tua (tidak haidh lagi / menopause) dan anak gadis (yang belum ada masa haidh) maka ‘iddah-nya itu selama tiga bulan, dan bagi perempuan hamil maka ‘iddah-nya hingga melahirkan anaknya, sebagaimana firman AlLoh Ta’ala dalam QS. At-Tholaq 4, dan budak perempuan maka ‘iddah-nya iyu dua kali quru` menurut hadits.
- Dan tidak halal bagi mereka (perempuan-perempuan) menyembunyikan apa yang diciptakan AlLoh pada rahim mereka, baik anak atau pun haidh, jika mereka beriman kepada AlLoh dan hari Akhir.
- Dan suami-suami mereka itu lebih berhak untuk kembali, rujuk kepada mereka walaupun para istri menolak, di saat demikian, yakni di masa tunggu. Hal itu jika (suami) menginginkan perbaikan diantara keduanya dan bukan untuk menyusahkan istri, merupakan dorongan bagi orang yang ingin memperbaiki, -tapi- bukan syarat boleh-nya rujuk. Ini (adalah) talak roj’i (yang bisa rujuk). (Hal) Itu adalah kebenaran, tidak ada yang lebih utama dalam urusan ini (selain suami), ketika tidak boleh ada (lelaki lain) yang menikahi mereka di masa ‘iddah-nya.
- Dan bagi mereka (para istri) atas suami, adalah sebagaimana orang-orang (para suami) atas istri, dari sisi hak (masing-masing). (Ditunaikan) dengan ma’ruf (baik), yakni sesuai syari’at berupa kebaikan pergaulan dan meninggalkan hal yang mencelakakan, dan hal semacamnya.
- Dan bagi lelaki (suami) ada kelebihan derajat, berupa keutamaan untuk ditaati oleh mereka (para istri), disebabkan mahar nikah dan uang belanja. Dan AlLoh Maha Tangguh, dalam kerajaan-Nya, lagi Maha Bijaksana, dalam rencana-Nya terhadap ciptaan-Nya.
@Tambahan penjelasan dari Imaam :
- Ditinjau dari sosiologi bangsa Arab, perceraian itu ada beberapa macam : ada ILa’, ada Zhihar, dan ada Tholaq
- Mengingatkan kepada para suami bahwa pada saat terjadi perceraian mk tidak boleh suami mengeluarkan istri dari rumah. Hal ini berdasar firman AlLoh Ta’ala dalam QS. Ath-Tholaq ayat 1, yang artinya : “la tukhrijuuhunna min buyuutihinna” (janganlah kalian mengeluarkan mereka -para istri- dari rumah mereka). Yang kita pahami bahwa yang keluar dari rumah justru adalah sang suami.
- Suami dan istri dalam Bahasa Arab disebut zawjun -tanpa membedakan lelaki atau perempuan- dengan maksud bahwa masing-masing dari mereka, punya hak yang seimbang. Baru setelah Bahasa Arab dikembangkan, maka ada pembedaan istilah bagi istri.
- Tidak ada kewajiban istri yang utama kecuali melayani suaminya untuk mengandung, mengasuh dan mendidik keturunan hingga baligh, adapun layanan lainnya adalah tambahan pahala bagi sang istri. Hal ini bercermin dari kisah ‘Aisyah rodhiyalLohu ‘anha, yang menceritakan bahwa RosululLoh ternyata giat menyapu rumahnya.
- Tarobbushu (masa tunggu) ada beberapa macam sbb:
1). Istri hamil, masa tunggu-nya hingga melahirkan.
2). Istri menopause atau yg belum mengalami haidh, masa tunggu-nya 3 bulan.
3). Istri yang belum dicampuri, masa tunggu-nya tidak ada.
4). Istri yang cerai hidup, masa tunggu-nya 3 kali suci atau 3 kali haidh. - Penekanan pada ayat-ayat tersebut bagi suami adalah untuk lebih memilih rujuk daripada cerai. Dan ingat bahwa kata tholaq itu berarti melepaskah nikah, bukan putus ukhuwah antara dua keluarga besar.
- Suami punya hak atas istri karena mereka memberikan mahar dan nafkah. Dengan demikian maka mahar yang diberikan oleh calon suami kepada calon istri semestinya bernilai tinggi.
- Adapun hadits tentang mahar yang baik itu adalah yang mudah, merupakan hak calon istri, bukan hak calon suami. Hal tersebut sebagaimana urusan hutang piutang, yakni menjadi hak bagi pemberi hutang untuk menambah tenggat waktu bagi yang kesulitan membayar, tetapi menjadi kewajiban bagi yang berhutang untuk segera melunasinya.
- Bila terjadi perceraian maka perlu ada surat resmi (KUA) supaya jelas untuk hitungan iddah-nya.
- Kadangkala terjadi suami menelantarkan istrinya dalam jangka lama, sedangkan tidak ada kata cerai diantara suami istri tersebut, sudah tentu hal ini sangat menyedihkan dan harus ada solusi. Dalam rangka mencegah kejadian seperti itulah ulama Indonesia berijtihad memberikan pilihan kepada suami untuk membacakan “shighot taklik” pada saat selesai prosesi akad nikah, sehingga kasus penelantaran istri bisa selesai dengan jatuh talak secara otomatis.
Demikian catatan kami, semoga bermanfa’at dan mohon ma’af atas segala kekurangan yang ada.