Nasihat Romadhon 1445H – Memulai Penyucian Jiwa

BismilLah.


Catatan kajian Tazkiyatun Nafs bersama Imaamul Muslimin : Ust. Yakhsyallah Mansur pada hari Rabu ba’da Zhuhur tgl. 24 Romadhon 1445H/03 April 2024M di Masjid An-Nubuwwah, Kec. Natar, Lampung sbb :

  • Kajian penyucian jiwa termasuk kajian yang langka. Kajian ini umumnya dikenal berkait erat dengan ajaran tasawwuf dan hadirnya kaum sufi, walaupun sebenarnya dalam syariat Islam sendiri ada tuntunan tentang hal itu. Tetapi dalam perjalanan sejarah memang terjadi berbagai penyimpangan sehingga akhirnya ajaran tasawwuf dipandang menyesatkan dan dijauhi oleh kaum muslimin, terutama ulama modern. Tasawwuf secara adab, melahirkan kaum Sufi, dan tasawwuf secara ilmu, melahirkan filsafat agama.
  • Secara umum, ajaran tasawwuf banyak yang dinukil dari tokohnya yakni : Imam Ghozali rohimahulLoh, melalui karya beliau : Ihya Ulumiddin. Beberapa ulama berusaha menggali kembali khazanah tasawwuf disertai usaha meluruskan penyimpangan yang ada, diantaranya adalah : Syaikh Sa’id Hawwa rohimahulLoh, juga rujukan kita kali ini, yang ditulis oleh Syaikh Abdurrozzaq al-Badr hafizhohulLohu Ta’ala.
  • Sebagian muslimin menduga bahwa ada hubungan erat antara Ahlush Shuffah (pada zaman shohabat RosululLoh) dan kaum sufi (yang lahir jauh setelah zaman shohabat, yang lebih memilih untuk menjauhkan diri dari Dunia), padahal sebenarnya tidak ada kaitan antara keduanya. Semula hal tersebut akan saya tuangkan dalam karya tulis jenjang S2 tetapi pembimbing mengingatkan agar tidak dicantumkan, karena boleh jadi akan menuai polemik di kalangan ummat Islam.
  • Salah satu bukti tidak ada hubungan antara keduanya adalah : Ahlush Shuffah memang benar-benar miskin, sedangkan kaum Sufi sengaja tidak memanfa’atkan harta. Ahlush Shuffah serba kekurangan makan karena tidak punya apa-apa, sementara kaum Sufi menjauhi makanan enak walaupun tersedia. Kedua kondisi tersebut jelas berbeda cara pandang dan pengamalan-nya.
  • Kajian penyucian jiwa didasarkan atas QS. Asy-Syams, utamanya ayat 1 s/d 10. Saat membuka surat ini, AlLoh Ta’ala bersumpah dengan enam makhluq yang luar biasa, yakni : (1). Matahari, (2). Bulan, (3). Siang, (4). Malam, (5). Langit dan (6). Bumi. Bila AlLoh Ta’ala bersumpah dalam firman-Nya maka ketahuilah bahwa ayat-ayat sesudahnya sangat penting untuk diperhatikan.
  • Pada ayat ke-9 dinyatakan beruntunglah orang yang menyucikan jiwa, dan pada ayat ke-10 dinyatakan merugilah orang yang mengotori jiwa. Arti kata “dassaha” sebenarnya bukan mengotori, ini kekurangan kosa kata Bahasa Indonesia. Tepatnya adalah : menutupi atau mengubur atau menghancurkan, yakni orang yang melakukan maksiat itu berarti menutupi jiwa mulia dengan berbagai dosa, mengubur jiwa mulia dengan berbagai hal yang rendah, menghancurkan jiwa mulia dengan melakukan hal yang tercela sehingga jiwa manusia yang semula adalah mulia berubah menjadi jiwa yang hina.
  • Jiwa seorang Muslim punya hak, maka dalam penyucian jiwa juga harus menempuh jalan syariat, dengan sikap pertengahan, tanpa disertai sikap berlebihan (ifrooth / hanya mementingkan Akhirot, seakan tidak butuh dengan Dunia) dan meremehkan (tafrith / hanya mementingkan Dunia, seakan tidak akan bertemu dengan Akhirot).
  • Sebelum kita bisa menyucikan jiwa maka langkah yang perlu ditempuh adalah : mengenali hakikat jiwa. Jiwa itu terbagi tiga :
  • (1). An-Nafs al-Muthmainnah, sebagaimana dalam QS. Al-Fajr ayat 27-30. Inilah jiwa yang mantap dan tenang.
    Misalnya :
  • 1.a). Tenang saat sholat berjama’ah, tidak menggerutu “mengapa imam sholatnya lama sekali?”
  • 1.b). Tenang saat menyimak kajian, tidak gelisah “kapan selesai nya materi kali ini?”
  • (2). An-Nafs al-Lawwamah, sebagaimana dalam QS. Al-Qiyamah ayat 2. Inilah jiwa yang mencela pemiliknya karena melakukan kesalahan dan dosa. Misalnya :
  • 2.a). Merasa menyesal karena tertinggal sholat berjama’ah tapi hari berikutnya diulangi lagi
  • 2.b). Merasa menyesal karena tidak sholat berjama’ah di masjid tapi besok hari ya tetap saja tidak berangkat ke masjid 
  • (3). An-Nafs al-Ammaaroh bis suu`, sebagaimana QS. Yusuf ayat 53. Inilah jiwa yang mendorong pemiliknya untuk berbuat hina dan dosa. Gambaran hal ini diungkapkan dalam pernyataan Nabi Yusuf ‘alayhis salam.

Demikian catatan kami, semoga bermanfa’at dan mohon ma’af atas segala kekurangan yang ada