Catatan Dzulqo’dah 1444H – Mereguk Keramahan Ulama Sudan

BismilLah.

Ringkasan obrolan bersama Ust. Roziqin asal Blitar, lulusan S3 bidang Hadits di Sudan, pada malam Sabtu 7 Dzulqo’dah 1444H / 26 Mei 2023M bertempat di rumah Ust. Abdurrahman Saleh, Dusun Muhajirun – Natar, Lampung sbb:

– Memulai obrolan malam ini, ada sedikit koreksi atas istilah “silaturohim” yang seringkali kita gunakan saat bertandang ke rumah salah satu sahabat. Hemat saya, yang lebih tepat adalah “ziyaroh” atau mengunjungi, karena secara syar’i kedua istilah itu memang beda pengertian. Kata “silaturohim” itu maknanya khas untuk menyatakan adanya hubungan darah atau nasab (keturunan) antara muslim satu dan lainnya, sehingga hubungan inilah yang diperintahkan oleh agama Islam untuk di-erat-kan, jangan sampai renggang bahkan putus. Berbeda hal-nya dengan “ziyaroh” yang mencakup kunjung-mengunjungi siapa saja sesama muslim atau sesama manusia. Namun bagi banyak orang, kadang meng-erat-kan hubungan dengan saudara satu nasab itu dirasakan lebih berat daripada meng-erat-kan hubungan dengan sahabat satu alumni, misalnya.

– Setelah menimba ilmu selama 11 tahun di Sudan, dengan menempuh S1, S2 dan S3, masing-masing di Universitas yang berbeda tapi tetap dalam bidang Hadits, alhamdulilLah saya temukan beberapa hikmah. Bila para calon mahasiswa pergi ke Sudan hanya sekedar kuliyah, tanpa mau menghadiri majlis ilmu berupa kajian ke-Islam-an di masjid dan menimba ilmu langsung dari para Syaikh, maka lebih baik mereka kuliyah di Indonesia saja. Karena memang kelebihan negeri Sudan adalah adanya para ulama yang senang dan semangat berbagi ilmu.

– Para ulama Sudan, kebanyakan dari mereka, tidak mau menyusahkan para penuntut ilmu. Para ulama itu sadar bahwa para muridnya sengaja datang dari tempat atau negeri yang jauh, secara khusus untuk menimba ilmu, dan sudah tentu mengerahkan usaha dan dana yg tidak sedikit. Para ulama disana selalu berusaha membantu muridnya. Adakalanya salah seorang dari ulama membagikan kitab secara gratis, walaupun setelah itu ada murid yang tidak lagi hadir karena kurang minat. Adakalanya salah seorang dari ulama bahkan menyewa bis agar para murid bisa mendatangi rumah atau masjid tempat kajian, walaupun sebenarnya ulama itu juga tidak kaya. Itulah semangat dakwah mereka dalam upaya menjaga ajaran Islam supaya bisa sampai kepada para muridnya.

– Para ulama di Sudan berusaha ikhlash untuk berbagi ilmu, walaupun mereka sendiri punya kebutuhan hidup. Pernah saya jumpai ada seorang Syaikh yang mengajarkan kitab sembari berdagang, ketika ada pembeli datang maka para murid sejenak menutup kitab dan menunggu Syaikh-nya selesai transaksi jual-beli, selesai transaksi kajian pun dilanjutkan. Mereka tidak mengejar kekayaan atau nama terkenal dengan mengajar, bahkan ada Syaikh yang bersyukur ketika masih punya murid, dan para murid mau menerima ilmu mereka. Kalau pun para ulama memiliki ilmu sedemikian tinggi tapi tidak punya murid, lalu buat siapa ilmunya, dan siapa yang akan mengamalkan ilmu itu di masa depan?

– Di sana selalu ada kajian ke-Islam-an baik di masjid maupun rumah masyayikh, dengan bermacam-macam kitab, misalnya bulan Romadhon ada kajian Tafsir Jalalayn yang ditamatkan dalam waktu satu bulan. Para murid menyimak 1 juz setiap hari tanpa libur, kecuali hari Jum’at, dimulai dari jam 8 pagi hingga waktu Ashar. AlhamdulilLah, saya berhasil menamatkan belajar 1.000 kitab dari 200 Syaikh. Kemurahan ilmu dan keramahan ulama Sudan menjadi daya tarik tersendiri bahkan menjadi sebab, mengapa mengundang para Syaikh dari Sudan relatif mudah. Ya karena mereka tidak mensyaratkan banyak hal yang memberatkan, asal mereka bisa istirahat dan makan-minum sewajarnya, mereka akan datang memenuhi undangan berdakwah.

– Di sisi lain, rakyat Sudan juga ramah dan mereka mau diajak bicara dengan Bhs Arab fushah (baku), walaupun mereka punya Bhs Arab amiyah (sehari-hari). Hal inilah yang memudahkan para mahasiswa untuk mempraktekkan Bhs Arab dengan baik. Lain hal-nya dengan negara tetangga Sudan, yang lebih utamakan Bhs Arab amiyah. Adapun secara politik, rakyat di sana bilang “mereka tidak butuh presiden”, karena kenyataan-nya kehidupan mereka berjalan normal walaupun belum punya presiden secara resmi. Namun patut dicatat bahwa kondisi di Sudan saat ini sedang terjadi perebutan kekuasaan di tingkat pemerintahan negara. Dan hal ini makin memburuk karena bandara dan istana ke-Presiden-an hancur akibat perang. Pun toko-toko dan bank dijarah oleh orang-orang bersenjata.

– Menurut hemat saya, solusi bagi para mahasiswa yang di-evakuasi dari Sudan adalah melanjutkan kuliyah di Indonesia melalui penawaran ormas atau lembaga pendidikan yang ada. Perkiraan saya pribadi, Sudan mungkin bisa pulih, tapi jangka waktu-nya lama. Ya, karena saat ini berbagai fasilitas publik banyak yang hancur, belum lagi tuntutan untuk menggelar Pemilu Presiden th.2023 ini, yang boleh jadi akan memicu “perang baru”.

– Satu lagi saran saya, kalau mahasiswa ada kesempatan kuliyah sampai S3, ya ambil saja beasiswa yang ditawarkan. Karena kita tidak tahu gelar mana yang berguna satu hari nanti. Kalau pun setelah lulus jadi guru madrasah, ya tidak mengapa. Tapi suatu waktu ketika diminta jadi dosen, kita sudah punya bekal cukup. Pertimbangan-nya adalah usia mahasiswa masih muda, masih punya semangat tinggi untuk belajar dan yang jelas belum ada tanggungan hidup tambahan.

# Demikian catatan kami, semoga bermanfa’at dan mohon ma’af atas segala kekurangan yang ada.