BismilLah.
Assalamu’alaykum.
Tilawah QS. Hud ayat 89-91 bersama Imaamul Muslimin : Ustadz Yakhsyallah Mansur pada ba’da Shubuh hari Sabtu 13 Rojab 1444H / 04 Pebruari 2023M di Masjid An-Nubuwwah, Dusun Muhajirun – Natar, Lampung sbb:
– Pada ayat ke-89, dikisahkan Nabi Syu’ayb merasa bahwa sikap beliau yang melakukan perdebatan dengan penduduk Madyan boleh jadi menyebabkan mereka membenci dakwah beliau. Inilah salah satu sikap juru dakwah yang perlu kita ambil sebagai teladan. Beliau ingatkan agar mereka tidak berbuat jahat dengan sebab benci itu, sehingga akan ditimpa adzab sebagaimana kaum Nabi Nuh, kaum Nabi Hud, kaum Nabi Sholih, bahkan dengan kaum Nabi Luth, yang ternyata belum berselang lama waktunya (Ulama ada yang memaknai tidak jauh jaraknya, ada juga yang memaknai tidak jauh masanya)
– Pada ayat ke-90, beliau menyeru kaumnya agar meminta ampun dan bertawbat. Mengapa dibedakan antara keduanya? Karena istighfar itu lebih mudah dilakukan dengan lisan, sementara tawbat itu lebih sulit dilakukan kecuali dengan perbuatan. Awal ayat menyatakan “robbakum” yakni sesembahan mereka, lalu apakah berhala itu mampu mengampuni dan menerima tawbat? Di akhir ayat dinyatakan “robbiy” yakni sesembahan Nabi Syu’ayb, yg ternyata “rohim” yakni mampu menyayangi (beliau) secara khusus (bedakan dengan istilah “rohman” yakni menyayangi secara umum) dan “wadud” yakni mampu mencintai (beliau) secara khusus pula.
– Catatan : mengapa dalam ayat ini tidak menyebut “wastaghfirulLoh” tapi “wastaghfiru robbakum”? Karena mereka memang meyakini Alloh sebagai pencipta alam semesta, namun tidak meyakini Alloh sebagai satu-satunya Dzat pengatur alam semesta. Mereka meyakini bahwa ada dzat lain -selain Alloh- yang mengatur alam semesta ini, maka mereka menyembah berhala-berhala untuk meminta bantuan. Sebagian Ulama menyatakan inilah yang disebut Tauhid Rububiyah : meyakini bahwa Alloh Ta’ala adalah satu-satunya Dzat yang mengatur alam semesta ini.
– Pada ayat ke-91, kaum Nabi Syu’ayb menolak seruan beliau. Catatan : dalam ayat ini ada kalimat “nafqohu”, yang tidak boleh dibaca panjang karena bermakna “memahami”, bukan dimaknai sebagai subjek seperti pada ayat lainnya. Akhirnya kaum-nya menjawab seruan dakwah itu dengan cara “menyerang” dan melecehkan pribadi Nabi Syu’ayb, mereka menyatakan bahwa beliau orang yang lemah, yakni kondisinya buta atau rabun (dalam tafsir at-Thobari). Dan dengan sebab wibawa keluarga beliau-lah maka mereka tidak jadi merajam dirinya (melempari batu hingga mati), sedangkan beliau juga bukanlah seseorang yang punya kekuasaan atas mereka.
# Demikian catatan kami, semoga bermanfa’at dan mohon ma’af atas segala kekurangan