BismilLah.
Assalamu’alaykum.
Tilawah QS. Hud ayat 84-87 bersama Imaamul Muslimin : Ustadz Yakhsyallah Mansur pada ba’da Shubuh hari Rabu 03 Rojab 1444H / 25 Januari 2023M di Masjid An-Nubuwwah, Dusun Muhajirun – Natar, Lampung sbb:
– Pada kajian sebelumnya kita sudah membahas kisah kaumnya Nabi Luth, mereka melakukan kejahatan moral yang belum pernah dilakukan oleh seorang pun manusia di dunia sebelum-nya. Hingga kini, ada saja manusia yang mengikuti kejahatan itu. Saat mereka diperingatkan dengan kisah turunnya ‘adzab atas kaum Nabi Luth, mereka berkilah bahwa : (1). Kisah itu memang bertutur tentang adzab tapi tidak ada dalil pengharoman homoseksual-nya, atau (2). Kelakuan mereka itu tidak-lah termasuk zina yang harom karena mereka toh berhubungan sesama jenis. Lalu bagaimana RosululLoh merespon atas kejahatan itu? Beliau shollalLohu ‘alayhi wa sallam menyatakan bahwa kedua pihak yang melakukan homoseksual (pelaku dan pasangannya) agar dibunuh.
– Setelah kita menyimak kejahatan moral yang dilakukan oleh kaumnya Nabi Luth, kali ini kita akan melanjutkan kisah kejahatan ekonomi, yang dilakukan oleh penduduk Madyan.
– Pada ayat ke-84, dikisahkan bahwa Nabi Syu’ayb ‘alayhis salam diutus kepada mereka. Sebagai catatan : Ulama berselisih tentang Nabi Syu’ayb, dalam kisah ini Nabi Syu’ayb bukanlah mertua dari Nabi Musa, yang sama-sama bernama Syu’ayb, karena perbedaan rentang masa hidup antara keduanya jauh.
– Perhatikan bahwa Nabi Syu’ayb menyeru kaum-nya untuk menyempurnakan takaran dan timbangan. Lalu apa bedanya takaran dan timbangan? Kita harus tahu bahwa : takaran adalah ukuran volume (seperti ukuran liter dan meter), sedangkan timbangan adalah ukuran berat (seperti ukuran gram dan kati). Ternyata penduduk Madyan melakukan pengurangan atas keduanya, alias korupsi. Nabi Syu’ayb melihat bahwa kaum-nya dalam kondisi baik, yakni makmur, sehingga sebenarnya mereka tidak perlu melakukan korupsi karena kehidupan mereka berkecukupan. Beliau merasa khawatir kaumnya akan ditimpa adzab karena aksi kejahatan itu.
– Pada ayat ke-85, Nabi Syu’ayb menasehati kaumnya untuk memenuhi takaran dan timbangan, tidak merugikan hak-hak manusia (atas perdagangan mereka), dan juga tidak menjadi perusak di muka Bumi. Dengan sebab kejahatan ekonomi inilah kerusakan tidak hanya menimpa usaha perdagangan, namun merambah kepada kerusakan Bumi, karena apa yang mereka perdagangkan mayoritas berasal dari hasil Bumi.
– Kita tahu adanya teori ekonomi (kapitalis) yang selama ini diajarkan di bangku sekolah, diantaranya : bagaimana mendapatkan hasil yang sebesar-besarnya dengan modal sekecil-kecilnya, ternyata itu teori yang salah. Yang benar adalah : untuk mendapatkan hasil yang besar maka perlu juga modal yang besar, sebagaimana contoh dari para shohabat RosululLoh shollalLohu ‘alayhi wa sallam.
– Akibat dari teori (kapitalis) tersebut maka terjadi kerusakan pada dua sisi:
1). Selaku penjual, maka ia berusaha menjual dengan harga setinggi-tingginya walaupun barangnya kurang bagus.
2). Selaku pembeli, maka ia berusaha membeli dengan harga serendah-rendahnya walaupun barangnya benar-benar bagus.
Simpulannya adalah : kedua belah pihak berusaha saling merugikan, bukan saling menguntungkan.
– Disinilah keunggulan para shohabat RosululLoh, yang mana mereka berdagang untuk saling memberikan keuntungan. Selaku penjual, mereka berusaha adil menawarkan harga sesuai kondisi barang, sehingga pembeli mendapatkan yang terbaik. Di sisi lain, selaku pembeli, mereka berusaha adil dengan menawar harga barang selayaknya sehingga penjual tetap mendapatkan keuntungan.
– Catatan : beberapa Ulama mengambil hikmah lain, bahwa para shohabat Muhajirin asal Makkah, yang mayoritas berprofesi sebagai pedagang, Alloh Ta’ala perintahkan untuk hijroh ke Madinah adalah dalam rangka menandingi dan mengalahkan para pedagang Yahudi di sana, yang mana mereka gemar melakukan kecurangan. Kondisi muslimin di Madinah, yang awalnya hanya kaum Anshor dengan mayoritas berprofesi sebagai petani, ternyata dikuasai ekonominya oleh Yahudi. Namun setelah peristiwa hijroh berlangsung, tidak lama kemudian pasar di Madinah berhasil dikuasai oleh muslimin dari kaum Muhajirin. Sudah tentu penguasaan pasar tersebut tidak melalui jalan kekerasan dan kecurangan, tapi melalui keunggulan dan kejujuran.
– Konsep saling menguntungkan antara kedua belah pihak ini terjadi karena berdasarkan iman kepada Alloh Ta’ala, inilah hal pertama-kali yang diingatkan oleh Nabi Syu’ayb kepada kaumnya, dengan kalimat “u’budulLoh” (sembahlah Alloh) pada ayat ke-84. Jadi seruan adil dalam berdagang itu didasarkan atas iman kepada Alloh Ta’ala, bukan adil karena takut kehilangan pembeli.
– Pada ayat ke-86, diserukan oleh beliau bahwa “baqiyyah” atau sisa dari Alloh itu lebih baik. Mengapa dinyatakan sisa? Karena setiap perdagangan yang menyisakan sesuatu setelah modal-nya kembali, itu berarti keuntungan. Dengan kalimat “baqiyyatulLoh” ini manusia sekaligus disadarkan bahwa sebenarnya keuntungan itu asalnya dari Alloh Ta’ala, bukan berasal dari kehebatan mereka berdagang.
– Pada ayat ke-87, penduduk Madyan menjawab dengan cerdas sembari menolak seruan dakwah beliau, dengan mengatakan “apakah sholatmu” (karena sholat adalah bagian terpenting dari agama) menjadi sebab seruan beliau untuk meninggalkan sesembahan (berhala) mereka, dan juga menjadi sebab seruan beliau untuk meninggalkan korupsi? Di akhir ayat, kaumnya malah mengejek beliau sebagai sangat penyantun (supaya Nabi ikut menyembah berhala) dan cerdas (supaya Nabi ikut berbuat korupsi), agar diam dan mengakhiri dakwahnya.
# Demikian catatan kami, semoga bermanfa’at dan mohon ma’af atas segala kekurangan