BismilLah.
Assalamu’alaykum.
Tilawah QS.Hud ayat 28-30 bersama Imaamul Muslimin : Ust. Yakhsyallah Mansur pada ba’da Shubuh hari Jum’at 05 Shofar 1444H/02 September 2022M di Masjid An-Nubuwwah, Dusun Muhajirun – Natar, Lampung sbb:
– Nabi Nuh mendapat gelar Syaikh para Nabi, sebagaimana Nabi Ibrohim yang digelari Bapak para Nabi. Gelar Nabi Nuh tersebut karena beliau adalah Rosul pertama yang paling panjang masa dakwahnya, hampir satu milenium.
– Pada ayat ke-28, Nabi Nuh ‘alayhis salam menyampaikan kepada ummatnya bahwa beliau punya bukti nyata tetapi disamarkan hal itu atas mereka. Kata “fa ‘ummiyat” lebih detilnya adalah : di-buta-kan dari melihat adanya bukti-bukti, karena umumnya manusia meyakini sesuatu itu dimulai dari mata (fisik yang melihat), setelah itu mata (akal yang berpikir), baru meningkat kepada mata (hati yg sadar). Beliau tahu bahwa mereka tidak menyukai bukti yang akan ditunjukkan.
– Pada ayat ke-29, Nabi Nuh ‘alayhis salam menyampaikan bahwa beliau tidak meminta harta, walaupun memang dalam kondisi miskin. Hal ini mencerminkan bahwa kemiskinan tidak sepatutnya dijadikan alasan untuk rendah diri selaku da’i (pendakwah), bahkan tetap tegak menyampaikan dakwah agama Islam. Di saat berdakwah, kalau pun tidak ada imbalan dari mad’u (obyek dakwah) maka tidak mengapa, karena imbalan terbaik hanyalah dari Alloh Ta’ala. Pernyataan beliau ini menegaskan bagaimana semestinya sikap seorang pendakwah dalam memelihara kehormatan diri terhadap obyek dakwahnya.
– Penggalan ayat berikutnya, beliau nyatakan tidak akan mengusir orang-orang yang beriman (walaupun mereka ini dianggap tidak panjang pikiran dan juga tidak punya harta banyak) dengan harapan agar dakwahnya dapat diterima oleh kalanganm pembesar kaumnya. Mengapa? Karena para pembesar beralasan para pengikut Nabi Nuh saat itu tidaklah sepadan dengan kedudukan mereka sehingga pantas diusir.
– Pernyataan Nabi Nuh diatas sekaligus menegaskan bahwa masalah (yang utama) dihadapi oleh beliau adalah penerimaan dakwah Tauhid (yakni meng-Esa-kan Tuhan), bukan masalah (yang kedua) berupa pengusiran pengikut beliau yang dianggap hina oleh para pembesar kaumnya. Bila masalah utama selesai, maka akan selesai pula masalah kedua.
– Penggalan akhir ayat ke-29, berisi sindiran Nabi Nuh atas sikap para pembesar kaumnya yang ingin mengusir para pengikut beliau sebagai suatu tindakan bodoh, walaupun mungkin dalam medan dakwah nyata, kata “bodoh” ini sebaiknya diperhalus agar tidak menjadikan obyek dakwah malah “menjauh” dari pendakwah.
– Pada ayat ke-30, Nabi Nuh menegaskan dengan pertanyaan yang memojokkan para pembesar kaumnya bahwa tidak ada (satu makhluq pun) yang mampu menolong dari ‘adzab Alloh Ta’ala bila hal itu ditimpakan kepada beliau, dengan sebab mengusir para pengikutnya.
# Demikian catatan kami, semoga bermanfa’at dan mohon ma’af atas segala kekurangan yang ada