Nasihat Shofar 1442H – Ganjaran Atas Syukur dan Pujian

BismilLah.

Assalamu’alaykum.
Catatan Tilawah QS. Ibrohim 14/8-9 bersama Imamul Muslimin pada Kamis ba’da Shubuh, 27 Shofar 1442H / 15 Oktober 2020M di Masjid An-Nubuwwah, Muhajirun – Natar, Lampung sbb:

– Melanjutkan kajian kita sebelumnya tentang syukur pada QS.Ibrohim ayat ke-7, maka perlu dipahami bahwa syukur itu setidaknya ditandai dengan tiga hal :
1). Mengakui dan meyakini bahwa segala nikmat itu asalnya dari Alloh Ta’ala semata.
2). Mengucapkan pujian atau rasa terima kasih kpd pihak yang telah memberi kenikmatan.
3). Menggunakan nikmat yang telah diterima tersebut di jalan kebaikan.

– Salah satu bentuk syukur yang seringkali dilupakan adalah bersyukur kepada istri. Mengapa? Ya karena kebanyakan suami tidak merasakan keberadaan istri sebagai nikmat yang harus disyukuri. Sebagai contoh, setiap hari istri kita membersihkan rumah tanpa diminta oleh suami, pertanyaannya : “Apakah pekerjaan membersihkan rumah adalah kewajiban istri terhadap suami?” Jawabannya : tidak. Nah kan, banyak orang terkejut dengan jawaban ini. Kalau tidak percaya, ayo kita buka Fiqh Munakahat dan cari hal-hal kewajiban istri terhadap suami, maka akan kita temukan bahwa membersihkan rumah itu pekerjaan pembantu, bukan kewajiban istri. Wah, ibu-ibu merasa gembira kalau dengar jawaban ini.

– Jadi perlu kita sadari bahwa istri yang membersihkan rumah itu adalah bentuk amal-sholihnya, bukan kewajiban istri kepada suami. Maka orang luar Indonesia, biasanya merasa senang jika mendapatkan istri asal Indonesia, mengapa? Pertama : mahar-nya lebih sedikit, dan kedua : suka beramal sholih. Coba kalau istri tidak mau beramal-sholih, maka kita harus punya pembantu rumah tangga, maka sudah semestinya kita banyak bersyukur.

– Kembali kepada kajian ayat ke-8, Nabi Musa ‘alayhis salam merasa kesusahan karena sifat degil-nya Bani Isroil sehingga beliau katakan hal sebagaimana dalam ayat tersebut. Coba kita analisis : umumnya sifat kita selaku manusia, kalau memberi sesuatu kepada orang lain maka akan berharap adanya balasan, setidaknya pujian berupa ucapan terima kasih. Dan hal ini memang wajar, bahkan di-sunnah-kan oleh RosululLoh shollalLohu ‘alayhi wa sallam untuk membalas kebaikan, minimalnya dengan do’a kepada orang yg memberikan kebaikan kepada kita. Tetapi apakah Alloh Ta’ala memerlukan balasan atas kebaikan yang telah diberikan-Nya kepada manusia? Jawabannya : tentu tidak. Apakah Alloh Ta’ala memerlukan pujian atas kebaikan yg diberikan-Nya kepada manusia? Jawabannya : tentu tidak.

– Kalau kita ditanya : “Apakah muslimin yang tidak hadir sholat Shubuh berjama’ah pagi ini, bisa menghirup udara segar?” Jawabannya : bisa. Ditanya lagi : “Apakah orang kafir yang jelas tidak melaksakan sholat, bisa menghirup udara segar?” Jawabannya : bisa. Ditanya lagi : “Apakah muslimin yang bekerja, bisa mendapatkan rizqi?” Jawabannya : bisa. Ditanya lagi : “Apakah orang kafir yang bekerja, bisa mendapatkan rizqi?” Jawabannya : bisa. Maka demikianlah Alloh Ta’ala memberikan nikmat dan rizqi kepada seluruh manusia, baik orang yang beriman maupun kafir.

– Bahkan Nabi Musa ‘alayhis salam tandaskan : jikalau semua manusia kafir maka Alloh Ta’ala tetap Maha Kaya dan Maha Terpuji. Sebenarnya, bila manusia bersyukur dan memuji Alloh Ta’ala maka ganjaran-nya akan kembali kepada manusia itu sendiri. Dan Alloh Ta’ala memberikan nikmat serta rizqi kepada seluruh makhluq ciptaan-Nya selain manusia, yang tak terhitung jumlahnya, maka sebutan Maha Kaya dan Maha Terpuji hanya pantas disematkan kepada Alloh Ta’ala.

– Pada ayat ke-9, Alloh Ta’ala sebutkan berita ummat-ummat terdahulu. Nah bila membaca ayat ini maka ada satu nikmat didalamnya yang sangat jarang disebut-sebut oleh kebanyakan manusia. Kalau pun ditanyakan, maka belum tentu ada yang bisa menjawabnya. Apa itu? Yakni nikmat : diutusnya para Rosul. Kita tidak pernah tahu bagaimana nasib manusia diatas bumi ini bilamana Alloh Ta’ala tidak mengutus para Rosul?

– Tetapi yang terjadi, ketika para Rosul diutus kepada manusia, kebanyakan dakwah dari para Rosul itu diingkari. Bahkan manusia yang mengingkari kedatangan para Rosul, saking bencinya, mereka mengisyaratkan suatu hal yang sangat kurang ajar, yakni menutupkan tangannya ke mulut, dengan maksud agar Rosul diam saja, tidak lagi berdakwah. Pengingkaran itu mereka tegaskan dengan kata-kata bahwa mereka tidak percaya atas bukti-bukti yang dibawa para Rosul, dan mereka merasa gelisah atas dakwah para Rosul tersebut.

# Demikian ringkasan kami, semoga bermanfa’at dan mohon ma’af atas segala kekeliruan.