BismilLah.
Taushiyah Imaamul Muslimin : Ustadz Yakhsyallah Mansur hafizhohulLoh, Sabtu ba’da Shubuh tgl.11 Dzulhijjah 1441H/01 Agustus 2020M di Masjid An-Nubuwwah, Dusun Muhajirun, Lampung sbb:
– Beliau sampaikan hadits tentang Ghuroba (asing). Dari Abu Huroyroh rodhiyalLohu ‘anhu, Nabi shollalLohu ‘alayhi wa sallam bersabda, “Islam datang dalam keadaan yang asing, akan kembali pula dalam keadaan asing. Sungguh beruntunglah orang yang asing.” (HR. Muslim no. 145). Lafazh ini yang disepakati keshohihannya, adapun beberapa riwayat lain dengan tambahan tentang siapa yang dimaksud dengan Ghuroba (asing) tersebut, diperselisihkan keshohihannya.
– Termasuk hal asing adalah menghidupkan sunnah. Nah tentang sunnah sendiri ada setidaknya 4 pengertian, yakni :
1). Dari sisi hadits, (yang dimaksud) sunnah adalah apa-apa yang disandarkan kepada RosululLoh shollalLohu ‘alayhi wa sallam, baik ucapan, perbuatan atau ketetapan. Ada sebagian ulama yang menambahkan : keinginan.
2). Dari sisi fiqh, sunnah adalah sesuatu hal yang apablia dikerjakan akan mendapatkan pahala, bila tidak dikerjakan maka tidak apa-apa.
3). Dari sisi ushul fiqh, sunnah adalah sumber hukum yang kedua, setelah al-Quran.
4). Dari sisi amaliyah, sunnah adalah apa yang dikerjakan oleh RosululLoh shollalLohu ‘alayhi wa sallam, baik yang sifatnya (a). khusus untuk beliau, (b). khusus untuk beliau dan ummatnya,.(c). khusus untuk ummatnya.
– Kalaulah kita memandang semua sunnah dari sisi fiqh saja, maka ya sedikit atau bahkan tidak ada yang melaksanakan. Contohnya : sholat sunnah fajar (qobliyah Shubuh), adzan awwal (sebelum adzan Shubuh), memperbanyak takbir pada ‘Idul Adhha (takbiran).
– Tapi bila kita memandang sunnah sebagai amaliyah, maka konsekuensinya berat. Siapa yang menyelisihi sunnah maka ia terjatuh dalam kekafiran. Contohnya : tata cara sholat, baik bacaan maupun gerakan. Kewajiban sholat hanya dijelaskan secara umum dalam al-Quran, adapun tata caranya harus merujuk kepada sunnah RosululLoh shollalLohu ‘alayhi wa sallam.
– Di zaman jahiliyyah sebelum RosululLoh shollalLohu ‘alayhi wa sallam diutus, banyak diadakan hari raya maka Alloh Subhanahu wa Ta’ala menggantikannya dengan dua hari raya Islam, yakni ‘Idul Fithri dan ‘Idul Adhha. Nah termasuk hal yang asing adalah meramaikan keduanya dengan memperbanyak takbir (takbiran).
– Kalau takbir ‘Idul Fithri dilaksanakan mulai Shubuh tgl.01 Syawwal hingga Imaam sholat hadir. Ya, waktunya singkat sekali, tidak sampai 1 hari. Untuk meramaikan ‘Idul Fithri di Indonesia, tentu sudah tidak asing lagi, tapi lain hal-nya dengan ‘Idul Adhha, yang biasanya terasa sepi. Padahal semestinya ‘Idul Adhha lebih meriah daripada ‘Idul Fithri.
– Mengapa ‘Idul Adhha lebih utama untuk diramaikan?
1). Adanya firman Alloh Subhanahu wa Ta’ala dalam QS. Al-Hajj 28 dan QS. Al-Baqoroh 203 untuk memperbanyak dzikir, yakni ucapan Takbir. Berdasar ayat tersebut maka ada dua macam takbir :
1.a). Takbir muthlaq, yang dimulai dari tgl.01 Dzulhijjah hingga tgl.13. Dilaksanakan kapan saja dan dimana saja, tidak ditentukan waktunya.
1.b). Takbir muqoyyad, yang dilaksanakan setiap selesai sholat lima waktu, dimulai dari Shubuh hari Arofah tgl.9 Dzulhijjah hingga ‘Ashar hari tasyriq terakhir tgl.13 Dzulhijjah.
2). Adanya ibadah Hajji
3). Adanya ibadah Qurban
– Adapun lafadz takbir yg sudah ditetapkan dalam musyawaroh majlis istinbath adalah sbb :
آلله اكبر آلله اكبر , لا اله الا الله , آلله اكبر , آلله اكبر و لله الحمد
Penetapan lafadz itu bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiyah. Bila ingin menggunakan lafadz lainnya, ya kita musyawaroh kan dahulu bersama para ‘alim.
– Mari kita ramaikan ‘Idul Adhha lebih dari ‘Idul Fithri, atau setidaknya sama meriahnya dengan ‘Idul Fithri
# Demikian ringkasan kami, semoga bermanfa’at dan mohon maaf atas segala kekurangan