Catatan Jumadal Ula 1441H – Pengalaman Tim RS Indonesia untuk Myanmar

BismilLah.

Assalamu’alaykum.
Catatan kegiatan tim pembangunan RS Indonesia di Myanmar oleh akh Nur Ikhwan Abadi pada Ahad pagi, 3 Jumadal Ula 1441H/29 Desember 2019M di Masjid An-Nubuwwah, Dusun Muhajirun Desa Negararatu, Natar – Lampung sbb:

– Pembangunan Rumah Sakit Indonesia di Myanmar sudah selesai bulan Oktober lalu, dan diserah-terimakan kepada Pemerintah Myanmar, melalui Dubes RI pd 10 Des 2019, alhamdulilLah.

– Sebenarnya pembangunan RS Indonesia di kota Mrauk U – Myanmar itu sederhana saja, tidak serumit RS Indonesia di Gaza, Palestin tetapi proses persetujuan dan pembangunannya menjadi lama karena adanya konflik antar suku.

– Diajukan pembangunan RS Indonesia oleh Mer-C pada th.2012, disetujui mulai membangun th.2016 dan baru selesai pada th.2019. Lobi ke Pemerintah Myanmar dibantu oleh Walubi dan PMI.

– Myanmar dahulu dikenal sebagai Burma, yang sebenarnya adalah nama sebuah suku terbesar disana. Adanya banyak suku menyebabkan perlunya pergantian nama Burma, yang telah lama digunakan sejak masa penjajahan kolonial Inggris.

– Adapun suku Rohingya yang beragama Islam, tinggal di negara bagian Rakhine State, yang semula hidup berdampingan dengan suku Arakan yang beragama Buddha.

– Sejak th.1982, suku Rohingya tidak diakui lagi sebagai warga negara Myanmar, walau tahun-tahun sebelumnya ada 6 orang wakil mereka yang duduk sebagai anggota parlemen.

– Pecahnya perang antar suku di Myanmar tidak hanya terjadi di Rakhine State, tapi juga di negara bagian lainnya, yang masing-masing negara bagian menginginkan otonomi dalam pemerintahan. Termasuk berperang dengan Tentara Nasional Myanmar sendiri.

– Pergerakan tim pembangunan RS, yang terdiri dari 4 orang, sangat dibatasi dan selalu diawasi oleh mata-mata yang disebar. Tim hanya boleh tinggal di kota dengan alasan keamanan, bukan dekat lokasi RS melainkan di hotel, selama masa pembangunan RS.

– Yang menghambat pembangunan RS Indonesia di Myanmar ada 5 faktor sbb:
1). Keamanan, dengan terjadinya perang darat antar suku. Pernah berlangsung baku tembak di dekat lokasi RS. Kalau terjadi demikian, maka mau tidak mau, pekerjaan harus dihentikan.

2). Pekerja, yang diharuskan memperkerjakan warga lokal. Itu pun para pekerja sering tidak bertahan lama, sesuai kontrak kerja, karena mereka takut berada di daerah konflik. Adapun muslim Rohingya yang diperbantukan, semula mereka tidak punya keahlian membangun, alhamdulilLah kita latih terus sehingga kini mereka cukup menguasai dan mampu merawat bangunan.

3). Bahan material, yang perlu didatangkan dari kota. Itu pun truk pengangkut materila sangat berhati-hati saat melintasi jalan, karena di tepian jalan dipasangi ranjau.

4). Cuaca. Selama 2 bulan musim hujan berlangsung, terjadi banjir di lokasi pembangunan RS. Sebelumnya ada RS lama disana, tetapi saat banjir terjadi, RS terpaksa memulangkan para pasiennya. Saat musim kemarau datang terjadi sebaliknya, warga Rohingya kesulitan akses air. Memang mereka membuat kolam tampung air hujan yang cukup besar, tapi makin lama air tampung itu berubah warna menjadi kehijauan. Air itulah yang mereka gunakan untuk memenuhi keperluan sehari-hari, termasuk minum.

5). Kontraktor yang mogok, dengan berbagai alasan teknis maupun psikologis.

– Muslim Rohingya saat ini tinggal tersisa 1-2 juta orang, yang semula sekitar 4 juta. Warga lainnya menjadi pengungsi di Bangladesh, Thailand, Malaysia, juga di Indonesia.

– Mereka sengaja dibuat miskin secara sistem. Berbagai hak sebagai warga negara tidak diberikan selayaknya, diantaranya adalah sbb:

– Hak bekerja. Mereka mayoritas adalah petani. Sangat dibatasi untuk menjadi pedagang. Bepergian pun tidak boleh gunakan angkutan umum, penumpang angkutan akan diperiksa satu per satu oleh polisi, sehingga mereka memilih naik sepeda motor atau perahu melalui sungai-sungai.

– Hak membangun. Untuk membangun masjid dan sekolah secara resmi, perizinannya saja memerlukan uang 20-30 juta. Maka tidak heran saat ada bantuan LSM luar negeri untuk bangunan sekolah, mereka terpaksa pinjam pada rentenir (lain suku), karena keseharian hidup mereka sendiri sudah sulit, bahkan untuk makan sekalipun.

– AlhamdulilLah tiap hari Jum’at tim RS punya kesempatan untuk sholat berjama’ah dan silaturohim ke masjid sekitar lokasi pembangunan. Walau pada akhirnya diinterogasi oleh pihak keamanan Myanmar, karena ternyata hanya boleh sholat di masjid yang sudah mereka tentukan, tidak boleh di masjid selainnya.

– Masya Alloh, hampir setiap masjid di sana selalu ada ma’had tahfizhnya. Kehidupan santri ditanggung oleh warga kampung sekitar masjid, walau kondisinya serba kekurangan. Banyak lahir para hafizh dari masjid-masjid tsb, yang hafal 30 juz pun ada.

– Yang unik, ada acara sima’an Kitab Shohih Bukhori tiap 3 bulan sekali, yang terus berkeliling dan bergilir di tiap kampung. Kitab Shohih Bukhori pegangan mereka cuma fotocopy-an lengkap dengan sampul kardus apa adanya, yang dimasukkan ke karung lalu dipanggul tiap kali selesai sima’an.

– AlhamdulilLah tim RS dapat bertemu dan berbincang dengan ulama lokal setelah sima’an. Mereka tidak bisa Bhs Ingris tapi bisa Bhs Arab. Mereka sampaikan bahwa Ustadz disana menerima uang mengajar 1 tahun sekali. Tim pun menyalurkan bantuan dari donatur Indonesia.

– Di saat bulan Romadhon, mereka punya kebiasan sholat tarawih dengan bacaan Al-Quran 1 juz tiap malamnya. Nah bulan Romadhon tahun lalu, diberlakukan jam malam, dengan batasan lewat dari jam 21:00 maka tembak di tempat. Sementara waktu ‘Isya saat itu jam 20:30, terbayang oleh kita bagaimana sulitnya sholat ‘Isya dan tarawih yang harus selesai dalam waktu 30 menit!

– Hak mendapatkan pendidikan. Setelah konflik th.2012, terjadilah diskriminasi di sekolah. Pelajar muslim dipisahkan dari sekolah umum, mereka harus belajar di lokal sendiri dengan fasilitas seadanya. Pengajarnya pun bukan sarjana, melainkan adalah para kakak kelas mereka. Misalnya yang lulus SLTA akan mengajar anak-anak SLTP, yang lulus SLTP akan mengajar anak-anak SD.

– Hak layanan kesehatan. Demikian pula diskriminasi terjadi di bidang ini, bangsal pasien budha dan muslim harus dipisahkan. Bahkan Rumah Sakit-nya pun sudah ditentukan. Jadi seorang Muslim hanya boleh berobat di RS khusus Muslim, walaupun jarak rumah pasien lebih dekat ke RS Umum lainnya.

– Suatu kali tim RS didatangi peminta-minta, seorang Ibu dengan kedua anaknya, yang salah satu anaknya menggenggam nasi di tangan. Kesempatan 1-2 kali diberi sesuatu, tapi mereka terus datang meminta, dan akhirnya ditawari bekerja untuk bersih-bersih bangunan RS. Saat jam rehat siang, ternyata sang Ibu dan kedua anaknya hanya duduk di halaman RS, karena tidak punya bekal makanan, mereka bilang belum makan sedari pagi. Tim RS pun sepakat mengeluarkan makanan untuk mereka. Apa yang terjadi kemudian? Anak sang Ibu melompat-lompat karena saking gembiranya mendapatkan makan siang itu. Dan itu masih banyak ribuan Muslim Rohingya yang kelaparan. Masya Alloh, betapa bersyukurnya kita di Indonesia sini…

– Selama bekerja membangun RS, tim hanya mendengar adzan 1x sepekan. Bagaimana tidak, masjid disana (beralaskan tanah liat yang tidak rata, dengan tembok gribik, atap rumbia) tidak boleh gunakan pengeras suara, hanya teriakan muadzin saja. Sementara tim RS pun boleh sholat berjama’ah hanya pd hari Jum’at. Sekali lagi, betapa bersyukurnya saya saat kembali melihat masjid dan bisa sholat disini…

– Kalaulah saya ditanya : selama menjadi relawan, apakah tidak rindu kepada keluarga? Tentu rindu. Apakah tidak takut dengan suasana konflik dan perang? Tentu takut. Tapi semuanya justru mendorong kita untuk lebih dekat kepada Alloh Ta’ala, kita lebih khusyu’ saat berdo’a.

– Ke depan, perlu disiapkan SDM yang lebih banyak, yang lebih siap menyantuni muslimin di berbagai belahan dunia, yang mengalami kesusahan dan penderitaan.

# Demikian catatan kami, semoga bermanfa’at dan mohon maaf atas segala kekurangan