BismilLah.
Assalamu’alaykum.
Kali ini saya akan membuat catatan “ringkas” berupa poin-poin tentang Jama’ah Muslimin (HizbulLoh), insya Alloh. Para ikhwan bisa melengkapi dengan kritik dan saran.
Kita mulai dengan pandangan saya atas Imam pertama, Wali Al-Fattaah rohimahulLoh. Saya pribadi tidak sezaman dengan beliau, bahkan tidak 1 hari pun bersamanya, maka saya akan menulis berdasarkan literatur dan kisah yang pernah diterima dari para murid beliau.
– Nama beliau adalah : Wali Al-Fattaah, yang dipanggil dengan tambahan “Syaikh” oleh Raja Faishol dari Saudi Arabia (berdasar surat balasan yang beliau terima). Lahir di Ngawi, Jawa Timur pada tgl.22 Romadhon 1326H / 18 Oktober 1908M.
– Dalam kepengurusan Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi) yang lahir pd tgl.7 Nopember 1945, beliau pernah menjadi Ketua Muda II. Di bidang jurnalistik, beliau pernah menjabat Ketua Umum Pengurus Besar Wartawan Muslimin Indonesia di Yogyakarta pada th.1941. Sedangkan di pemerintahan, terakhir beliau menjabat Kepala Ketataprajaan Kementrian Dalam Negeri pada th.1961-1964.
– Beliau di-bay’at (artinya diangkat dengan perjanjian) sebagai Imaam pada tgl.10 Dzulhijjah 1372H / 20 Agustus 1953M di Gedung Adhuc Staat (sekarang Bappenas) Jl.Taman Suropati No.1 Menteng Raya, Jakarta. Dan mengundurkan diri dari Masyumi pada tgl.3 Januari 1955.
– Seruan kepada muslimin untuk bersatu menetapi Jama’ah dengan satu Imaam, diselenggarakan melalui Musyawaroh ‘Alim ‘Ulama dan Zu’ama. Kali terakhir hal tersebut dilaksanakan pada tgl.25-27 Jumadal Ula 1394H / 15-17 Juni 1974M.
– Beliau wafat pada hari Jum’at tgl.27 Dzulqo’dah 1396H / 19 Nopember 1976M dalam usia 68 tahun. Beliau dikebumikan sehari kemudian di Pemakaman Tambak, Banyumas, Jawa Tengah, setelah di-bay’at-nya Imaam pengganti, yakni hamba Alloh Muhyiddin Hamidy.
– Tiga langkah besar (menurut saya) yang telah diambil oleh Imaam Wali Al-Fattaah sebagai strategi Jama’ah Muslimin (Hizbullah) adalah sbb :
1). Mengambil sikap bahwa Islam Non Politik, dalam artian bukan buta politik tetapi tidak mengambil peran dalam politik praktis. Hal tersebut sebagaimana pengunduran diri beliau dari Masyumi dan pernyataan tegas yang beliau sampaikan dalam berbagai pidato.
2). Mengadakan musyawaroh besar bersama para ‘Ulama dan Zu’ama beberapa kali, dengan seruan bersatu dan bersedia menerima nasihat bilamana pengamalan jama’ah ini dianggap sesat.
3). Mengirimkan surat kepada Raja Faishol, Saudi pada tgl.28 Muharrom 1392H / 14 Maret 1972M, menandaskan bahwa ada usaha komunikasi antara beliau dan orang yang dianggap lebih berhak diangkat sebagai Imaam.
# Demikian ringkasan kami, semoga bermanfaat dan mohon maaf bilamana ada kesalahan