BismilLah.
Assalamu’alaykum.
Pengarahan Imaamul Muslimin kepada Asatidz tgl.25 Syawwal 1439H / 09 Juli 2018M di Aula At-Taqwa Muhajirun, Lampung sbb :
– Perlu kita ingat bersama bahwa kunci keberhasilan adalah *disiplin*. Ayat yang mendasari hal tersebut adalah QS.An-Nur 62.
– Ayat ini lebih sering disampaikan di masa-masa awal menetapi jama’ah, daripada sekarang ini, maka Imaam kembali menyampaikan agar para ikhwan mengingatnya.
– Salah satu teladan terbaik tentang kedisiplinan di masa RosululLoh shollalLohu ‘alayhi wa sallam & para shohabat beliau rodhiyalLohu ‘anhum adalah pada saat *Perang Ahzab*.
– Perang ini dikatakan oleh Ummu Salamah rodhiyalLohu ‘anha sebagai perang yang terberat. Mengapa?
1). Musuh pada saat itu adalah gabungan dari suku-suku Arab yang banyak, bahkan hampir seluruh suku mengirimkan pasukannya.
2). Musuh mengerahkan 10 ribu pasukan lengkap, sementara muslimin dengan 3 ribu pasukan dengan perlengkapan sederhana.
3). Pada saat itu adalah musim dingin yang sangat, sehingga hidung bisa keluar darah karenanya.
4). Yahudi (di kota Madinah) yang tadinya sudah menjalin perjanjian, ternyata membelot. Mereka membatalkan perjanjian secara sepihak pd saat-saat genting, bahkan membela musuh muslimin.
5). Persiapan perang adalah membuat parit yang mengelilingi kota Madinah, sepanjang 5,5 km, dengan lebar parit 5 meter dan kedalaman 3 meter. Maka amal-sholih penggalian parit dibagikan kepada para shohabat menjadi 40 meter
per bagian (lebarnya 5 m & dalamnya 3 m), yg dikerjakan dalam waktu 20 hari.
Mereka sangat disiplin dan tidak mengajukan idzin meninggalkan amanat menggali parit, kecuali orang-orang munafiq, yang beralasan menjaga rumah. Masya Alloh, bagaimana dengan perbandingan kedisiplinan amal-sholih kita saat ini?
6). Kemenangan datang dari Alloh Ta’ala, yakni dengan datangnya angin kencang yang menerbangkan periuk makanan, kemah-kemah pasukan dan membubarkan hewan-hewan tunggangan.
– Hikmah : bahwa hanya Alloh Ta’ala saja yang mendatangkan kemenangan, sedangkan kewajiban ummat Islam adalah tetap berusaha meraihnya.
– *Disiplin berhubungan erat dengan keimanan*, berdasarkan ayat diatas, bila ditinjau dari segi aqidah dan ijtimaiyah (kemasyarakatan).
– Dari sisi aqidah, karena ayat tersebut meng-isyaratkan beriman kepada Alloh dan Rosul-Nya. Dari sisi ijtimaiyah, karena adanya urusan atau kepentingan bersama (jama’ah).
– Dalam ayat berikutnya (ke-63) disebutkan bahwa selain orang beriman yang meminta idzin, maka ia adalah orang munafiq.
– Pada ayat ke-62, ternyata pada satu ayat ini ada kata *idzin* yang diulang hingga 3 kali. Hal tersebut mengisyaratkan kerasnya teguran Alloh Ta’ala terkait masalah disiplin.
– Tanda orang beriman adalah selalu meminta idzin kepada Ulil Amri atau Amir-nya, bila ada keperluan meninggalkan urusan bersama. Yang tidak meminta idzin, bahkan diam-diam pergi adalah orang yang tidak beriman, yakni munafiq.
– Yang disebut sebagai urusan bersama adalah sebuah urusan yg melibatkan orang bnyk. Dan bilamana ada satu orang yang tidak hadir maka memberatkan urusan tsb. Contohnya adalah : safar jarak jauh, ta’allum (biasa disebut taklim), sholat berjama’ah, amal-sholih atas amanah Ulil Amri, mengajar di kelas, dsb. Adapun seperti menghadiri walimah maka tidak termasuk kedalamnya, karena ia adalah urusan pribadi.
– Maka sebagai panduan, bahwa makmum memiliki kewajiban *meminta idzin* dan amir berhak *memberi atau menolak idzin*. Hal inilah yang benar, jangan dibalik, seakan-akan idzin makmum adalah hak mereka dan memberi idzin adalah kewajiban amir.
– Berdasar ayat itu pula, para ahli tafsir menyimpulkan bahwa sebenarnya orang yang meminta idzin telah berdosa, sehingga amir diperintahkan untuk memintakan ampun bagi makmum yang meminta idzin dan telah diidzinkan unt pergi.
– Di masa jahiliyyah, yang ditaati oleh suatu kaum adalah pemimpin tertinggi, maka tidak ada wakil pemimpin. Pada masa RosululLoh shollalLohu ‘alayhi wa sallam, adat tersebut diubah dengan adanya sunnah wakil pemimpin, sehingga ketaatan pun dapat diberikan kepada wakil, bila pemimpin telah mewakilkan sebuah urusan kepada nya.
– Adab meminta idzin sbb:
1). Memanggil pemimpin, sunnah nya dengan menyebut *gelar kehormatan* mereka, tidak dicukupkan dengan memanggil nama saja. Sebagaimana hal nya Alloh Ta’ala yang memanggil dengan hormat utusan-Nya, yaitu dengan kalimat “Ya ayyuhan Nabi” atau “Ya ayyuhar Rosul”. Demikian pula hendaknya kita memanggil Ulil Amri dengan gelar mereka, “Wahai Imaam”, “Ya Wali”, dst.
2). Menyampaikan idzin hendaknya tidak titip, tapi *langsung yang bersangkutan sampaikan idzin nya*. Sebagaimana teguran Alloh Ta’ala pada ayat ke-63 bahwa orang munafiq tidak berani minta idzin langsung tapi berlindung pada kawannya. Bila ada seseorang yang minta idzin maka dia ikut keluar bersamanya.
– Maka hendaklah kita menjaga ketaatan kepada RosululLoh, dengan selalu menjaga sunnah beliau, termasuk hal idzin diatas. Dan juga diiringi dengan rasa takut akan tertimpa fitnah atau ‘adzab. Fitnah adalah sesuatu yg tdk menyenangkan tapi membawa hikmah. Sedangkan ‘adzab adalah sesuatu yang tidak menyenangkan bahkan menyengsarakan.
– Rangkaian ayat ke-62 hingga 64 ditutup dengan pernyataan Alloh Ta’ala bahwa Dia Maha Mengetahui atas segala sesuatu. Yakni atas apa pun yang diperbuat oleh hamba-Nya, di masa sekarang maupun saat manusia kembali kepada-Nya, baik orang yang beriman maupun orang munafiq.
# Demikian ringkasan kami, semoga bermanfaat dan mohon maaf atas segala kekurangan.